
WWW.CONDONG.ID-Setelah maraknya praktik buruk yang dilakukan oleh aparat pemerintahan, banyak kasus merugikan masyarakat di Indonesia yang memunculkan berbagai pertanyaan. Salah satunya adalah kenapa nilai-nilai Pancasila, yang diajarkan sejak berada di bangku pendidikan, seolah tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengapa sistem pemerintahan di Indonesia, yang seharusnya diisi oleh orang-orang berpendidikan, tidak mencerminkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan pendidikan itu sendiri? Pernahkah kamu mendengar anekdot tentang seorang remaja yang, setelah salat, secara impulsif mengambil sandal milik orang lain? Akibatnya, ia dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. Di sisi lain, seorang pejabat yang dengan leluasa menggelapkan hak rakyat senilai 100 juta hanya mendapatkan hukuman satu bulan penjara.
Ketika hakim menjelaskan perbedaan hukuman bagi kedua terdakwa ini, masyarakat pun terkejut. Sang hakim beralasan bahwa remaja yang mengambil sandal telah merugikan seseorang dengan nilai Rp 20.000, sedangkan pejabat tersebut hanya mengambil hak dari setiap warganya senilai Rp 1000. Ironisnya, inilah yang memicu adagium di kalangan masyarakat: hukuman lebih berat diberikan kepada mereka yang merugikan individu dengan nilai yang lebih tinggi. Kisah ini mengunggah pemikiran masyarakat untuk merenungkan keadilan dalam sistem hukum di Indonesia.
Kemudian jika berbicara teori Pancasila, pada dasarnya, Pelajaran Kewarganegaraan di Indonesia merupakan mata pelajaran yang penting dalam membentuk karakter dan kesadaran warga negara. Teori-teori yang diajarkan di dalam kelas sering kali penuh dengan nilai-nilai ideal, seperti keadilan, hak asasi manusia, dan partisipasi aktif dalam pemerintahan. Namun, ketika melihat realitas birokrasi di lapangan, sering kali ada kesenjangan antara apa yang diajarkan dan apa yang terjadi di dunia nyata.
Di dalam kurikulum pendidikan, pelajaran Kewarganegaraan dirancang untuk membekali siswa dengan pemahaman tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara. Siswa diajarkan tentang undang-undang, sistem pemerintahan, serta pentingnya demokrasi dan partisipasi. Konsep-konsep ini memberikan harapan bahwa generasi muda akan menjadi warga negara yang aktif, kritis, dan berkontribusi positif bagi masyarakat.
Namun, teori ini sering kali terputus dari praktik sehari-hari. Banyak siswa yang memahami konsep-konsep ini secara kognitif, tetapi tidak memiliki kesempatan untuk menerapkannya dalam kehidupan nyata. Di sinilah tantangan muncul. Kewarganegaraan tidak hanya tentang pengetahuan, tetapi juga tentang tindakan dan partisipasi.
Ketika siswa belajar tentang partisipasi dalam pemerintahan, mereka mungkin tidak menyadari bahwa birokrasi di Indonesia sering kali menjadi penghalang. Proses administrasi yang panjang dan rumit, korupsi, serta kurangnya transparansi sering kali membuat warga negara merasa putus asa dan tidak berdaya.
Contoh konkret dari kebobrokan birokrasi ini dapat dilihat dalam berbagai kasus korupsi yang terjadi baru-baru ini. yaitu kasus yang melibatkan mantan pejabat yang terlibat dalam skandal korupsi timah senilai 300 triliun rupiah. Meskipun kerugian negara yang sangat besar, pelaku hanya dijatuhi hukuman penjara 6,5 tahun, menciptakan kesan bahwa hukum tidak berlaku secara adil. Ini menciptakan frustrasi di kalangan masyarakat yang melihat ketidakadilan dalam penegakan hukum. Sungguh ironis, bukan? Di satu sisi, penegakan hukum yang keras terhadap masyarakat kecil, bahkan untuk kesalahan yang tampaknya sepele, seperti mengambil beberapa potong kayu bakar dari kebun orang lain. Tindakan yang jelas-jelas tidak merugikan banyak pihak, bahkan bisa dibilang tidak memberikan dampak signifikan bagi negara, dikenai hukuman yang setara dengan pelaku korupsi timah tersebut. Namun, di sisi lain, sering kali terjadi peristiwa pelanggaran yang jauh lebih besar, yang seharusnya menjadi perhatian utama, terabaikan begitu saja.
Tidak habis di sana, kasus lain yang mencolok adalah maraknya judi online yang melibatkan oknum-oknum aparat penegak hukum. Dalam banyak kasus, praktik ilegal ini berjalan tanpa hambatan karena adanya kolusi antara pelaku judi dan pihak berwenang. Ketika aparat yang seharusnya menegakkan hukum justru terlibat, kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi semakin menipis.
Untuk mengatasi kesenjangan ini, pendidikan Kewarganegaraan perlu beradaptasi dengan realitas yang ada. Salah satu cara adalah dengan melibatkan siswa dalam proyek-proyek sosial atau kegiatan yang mendukung partisipasi masyarakat. Misalnya, program pengabdian masyarakat yang mengajak siswa untuk berinteraksi langsung dengan komunitas dapat memberikan pengalaman berharga.
Dengan cara ini, siswa tidak hanya belajar tentang teori, tetapi juga memahami bagaimana menerapkannya dalam konteks nyata. Mereka dapat melihat langsung dampak dari tindakan mereka dan belajar tentang tantangan yang dihadapi oleh masyarakat. Ini adalah proses pembelajaran yang holistik, yang menjadikan mereka lebih siap untuk berkontribusi sebagai warga negara.
Pelajaran Kewarganegaraan di Indonesia memiliki potensi besar untuk membentuk generasi yang kritis dan aktif. Namun, untuk mencapai tujuan ini, penting untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik. Pendidikan yang relevan dan pengalaman nyata di lapangan akan membantu siswa memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai kewarganegaraan. Dengan demikian, harapan akan terciptanya warga negara yang sadar dan bertanggung jawab tidak hanya menjadi teori belaka, tetapi juga menjadi kenyataan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.[]