
WWW.CONDONG.ID, TASIKMALAYA – Di balik kesibukan para santri dalam menuntut ilmu di pesantren, terdapat ruang khusus yang sarat makna. Setiap pekan, mereka duduk bersama sosok yang tak hanya menjadi pendidik, tetapi juga pendengar dan pembimbing: wali kelas. Inilah momen Kewalikelasan, sebuah forum reflektif yang menjadi napas dari proses pendidikan yang holistik dan humanis di Pesantren Condong.
Kewalikelasan adalah ruang evaluasi dan wadah dialog yang jujur dan mendalam antara santri dan para guru pembimbingnya. Di sinilah setiap dinamika kehidupan santri dibuka dan dibahas: mulai dari capaian akademik, kehidupan di asrama, dinamika pertemanan, hingga persoalan personal yang memerlukan arahan. Pertemuan ini dilakukan secara bergantian antara wali kelas dan guru Bimbingan Konseling (BK), menunjukkan betapa pentingnya keseimbangan antara intelektualitas dan kesehatan emosional (mental health) dalam proses tumbuh kembang santri.
Lebih dari itu, kegiatan ini menjadi ruang strategis untuk menyusun peta masa depan para santri. Wali kelas memeriksa hasil ujian, laporan kehadiran, capaian hafalan Al-Qur’an, dan aktivitas ekstrakurikuler dan juga mendiskusikan arah studi lanjut, pilihan program perguruan tinggi, serta komitmen-komitmen khusus yang harus dibangun untuk menggapai cita-cita tersebut.
Di sinilah peran guru-guru di Pesantren Condong sebagai pendamping masa depan terasa nyata. Santri yang ingin melanjutkan studi ke Timur Tengah, misalnya, diarahkan untuk memperkuat hafalan Al-Qur’an, penguasaan kitab kuning, dan mengikuti program khusus. Santri yang mengincar perguruan tinggi negeri dibimbing untuk fokus pada pendalaman materi umum. Sementara itu, mereka yang memilih melanjutkan di Universitas Riyadlul Ulum diarahkan untuk memperkuat fondasi keilmuan yang sesuai dengan jurusan yang diinginkan.
Namun, kewalikelasan bukan hanya soal target akademik. Dalam forum ini, para wali kelas juga menyampaikan wejangan dan nilai-nilai kepesantrenan yang menjadi fondasi karakter santri. Karena di pesantren ini, keberhasilan bukan hanya diukur dari kampus mana seorang santri diterima, tetapi dari seberapa kuat ia berdiri dalam prinsip, seberapa luas ia memahami hidup, dan seberapa dalam ia menghargai ilmu dan adab.
Kewalikelasan adalah wajah dari pendidikan yang memanusiakan, mendengarkan, dan membimbing. Ia adalah perwujudan bahwa setiap santri di Condong bukan hanya angka dalam raport, tetapi individu yang sedang menapaki jalan hidupnya—dengan guru sebagai sahabat dan pendamping dalam perjalanan. []