Telaah Hukum Zina dalam Surat An-Nur Ayat 1–3: Pendekatan Moral, Legal, dan Sosial dalam Islam

Share on:

Facebook
X
WhatsApp
Ilustrasi Had zina dalam islam (dok. iStock)

WWW.CONDONG.ID-Surat An-Nur ayat 1 sampai 3 merupakan bagian penting dalam Al-Qur’an yang mengatur tentang perbuatan zina dan hukuman yang menyertainya. Dalam Islam, zina termasuk salah satu dosa besar yang mendapatkan perhatian serius, baik dari sisi moral maupun legal. Ayat-ayat ini tidak hanya menetapkan bentuk hukuman bagi pelaku zina, tetapi juga menegaskan pentingnya penegakan hukum syariah secara adil dan tegas, serta menjadi dasar pembentukan nilai-nilai sosial dan etika dalam masyarakat.

Dalam hukum Islam, zina diklasifikasikan menjadi dua jenis utama, yakni zina muhshan dan zina ghair muhshan, yang masing-masing memiliki ketentuan hukuman (hudud) tersendiri:

  1. Zina Muhshan
    Zina muhshan adalah zina yang dilakukan oleh seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu sudah menikah secara sah, baligh, berakal, merdeka, dan pernah melakukan hubungan suami istri dalam pernikahan tersebut. Pelaku zina muhshan dijatuhi hukuman rajam (dilempari batu sampai mati), sebagaimana dicontohkan dalam hadis-hadis sahih, termasuk kisah terkenal Maiz bin Malik yang mengaku berzina kepada Rasulullah ﷺ.
  2. Zina Ghair Muhshan
    Sebaliknya, zina ghair muhshan dilakukan oleh orang yang belum menikah atau belum memenuhi syarat sebagai muhshan. Hukuman bagi pelaku zina ghair muhshan adalah dera sebanyak 100 kali, sebagaimana disebutkan secara eksplisit dalam QS. An-Nur ayat 2. Namun, pelaksanaan hukuman hudud ini sangat ketat, hanya dapat dilakukan jika terdapat empat orang saksi yang adil atau pengakuan pelaku sebanyak empat kali tanpa paksaan.

Islam menekankan prinsip kehati-hatian dalam penerapan hukum hudud. Hal ini terlihat dalam kisah Maiz bin Malik, yang meskipun mengaku telah berzina, tidak langsung dihukum oleh Nabi Muhammad ﷺ. Sebaliknya, Nabi ﷺ mencoba meragukan pengakuannya dan menyarankan bahwa mungkin ia hanya mencium, menyentuh, atau melihat, bukan benar-benar berzina. Nabi bahkan beberapa kali memalingkan wajahnya dan enggan mendengar, hingga Maiz mengulang pengakuannya sebanyak empat kali. Setelah memastikan kondisi mental dan kesadarannya, barulah hukuman rajam dilaksanakan.

Kisah ini menunjukkan bahwa pengakuan pun tidak serta-merta diterima tanpa verifikasi yang ketat. Ini mencerminkan rahmat dan kasih sayang dalam hukum Islam, yang berusaha membuka jalan taubat dan introspeksi sebelum menjatuhkan hukuman yang berat.

Surat An-Nur adalah surat Madaniyah yang banyak membahas tentang etika sosial, tatanan masyarakat, dan hukum yang menjaga kesucian serta kehormatan individu. Dalam ayat-ayat awalnya, Allah SWT berfirman:

“Ini adalah satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum) di dalamnya dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kamu mengambil pelajaran. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. Laki-laki yang berzina tidak menikah melainkan dengan perempuan yang berzina, atau perempuan musyrik, dan perempuan yang berzina tidak (pula) dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (QS. An-Nur: 1–3)

Salah satu hal menarik dari ayat ini adalah penyebutan perempuan terlebih dahulu dalam frasa “Az-zāniyatu waz-zānī” (perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina). Ulama menafsirkan bahwa urutan ini memiliki makna moral dan sosial. Dalam beberapa konteks, hasrat seksual perempuan yang tidak dikendalikan dapat menimbulkan dampak sosial yang lebih luas, sehingga tanggung jawab yang diemban menjadi lebih berat. Ini kontras dengan struktur ayat tentang pencurian dalam QS. Al-Ma’idah: 38, di mana laki-laki disebut lebih dahulu: “As-sāriqu was-sāriqatu” (laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri), mencerminkan peran dominan laki-laki dalam konteks ekonomi dan penghidupan.

Lebih jauh, ayat ketiga dari Surat An-Nur juga menetapkan larangan pernikahan antara orang yang menjaga kehormatan dengan pelaku zina, kecuali jika mereka telah bertaubat secara sungguh-sungguh. Ini merupakan landasan penting dalam menjaga kemurnian lembaga pernikahan, serta kehormatan keluarga dalam masyarakat Islam. Dengan demikian, ayat ini bukan hanya menetapkan hukuman, tetapi juga membentuk sistem nilai sosial yang menjunjung tinggi kesucian, tanggung jawab moral, dan martabat individu.[]

[custom_views]

Share on :

Facebook
X
WhatsApp