
Sore di Pesantren Condong bukan waktu bersantai. Ketika azan Maghrib berkumandang dan para santri menunaikan shalat berjamaah, sebuah kegiatan khas pesantren salaf mulai menggeliat: Sorogan. Inilah salah satu tradisi keilmuan tertua dalam sejarah pesantren Nusantara—dan di Condong, tradisi ini bukan sekadar dipertahankan, tetapi dikontekstualisasikan untuk melahirkan generasi ulama yang siap menjawab tantangan zaman.
Sorogan adalah metode belajar langsung dari guru (ustaz/kiai), di mana santri membaca kitab di hadapan beliau secara individual atau berkelompok kecil. Dalam suasana khidmat dan fokus, santri menyetorkan bacaan, lalu guru membimbing, mengoreksi, dan menanamkan pemahaman. Tak ada keramaian, hanya percakapan ilmiah yang intens dan mendalam—cerminan dari ilmu yang ditanamkan bukan untuk sekadar dihafal, tetapi untuk dihayati.
Di Pesantren Condong, kajian kitab kuning diselenggarakan dua kali sehari. Pagi hari dengan metode bandongan, dan sore hingga malam dengan sorogan khusus bagi santri tingkat SMP. Sedangkan santri SMA melanjutkan pendalaman materi melalui metode bandongan lanjutan. Kitab-kitab yang dikaji mencakup fondasi syariat Islam: Tauhid, Fiqih, Hadis, Tafsir, Akhlak, hingga Tasawuf—ditopang oleh ilmu alat seperti Nahwu dan Sharaf.
Lebih dari sekadar metode, kegiatan sorogan adalah perwujudan dari karakter pesantren Condong sebagai lembaga pendidikan bauran. Pesantren ini tidak berdiri di kutub tradisional maupun modern secara ekstrem, melainkan menggabungkan nilai-nilai terbaik dari tiga sistem: pesantren salaf, pesantren modern (model Gontor), dan pendidikan nasional (jenjang SMP-SMA). Inilah wujud dari semangat klasik Islam: al-muhafadzah ‘ala qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah—menjaga tradisi yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik.
Tradisi sorogan juga menjadi simbol penolakan terhadap dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Pesantren Condong tidak melihat batas antara masjid dan laboratorium, antara tafsir dan matematika. Justru di sinilah mereka menempa santri untuk menjadi pribadi utuh: berakar kuat pada tradisi, namun tumbuh tinggi menyongsong masa depan.
Dalam sorogan, santri tidak hanya mengaji, tapi juga belajar tawadhu, ketekunan, dan rasa haus terhadap ilmu. Mereka tidak hanya belajar isi kitab, tetapi juga adab di hadapan guru. Di ruang-ruang kecil penuh cahaya ilmu ini, lahir pemikir-pemikir muda Islam yang tangguh dan relevan.
Sorogan bukan sekadar metode mengajar—ia adalah identitas. Ia menegaskan bahwa Pesantren Condong hadir untuk membangun jembatan antara warisan keilmuan klasik dan kebutuhan zaman modern. Dari santri-santri yang membaca pelan dan penuh hormat itulah, semoga lahir generasi yang menjadi lentera umat.