Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Condong: Bagian 2

Share on:

Facebook
X
WhatsApp
Santri putra Pesantren Condong sedang mengikuti kegiatan apel mingguan. Sumber foto: Condong Media

TASIKMALAYA — Pondok Pesantren Riyadlul Ulum Wadda’wah, yang dikenal dengan nama Pondok Pesantren Condong, adalah salah satu pesantren tertua di Tasikmalaya, Jawa Barat. Pesantren ini memiliki sejarah panjang yang mencerminkan perjuangan, dedikasi, dan transformasi untuk menjadi lembaga pendidikan yang berperan penting dalam membentuk generasi berilmu dan berakhlak mulia. Artikel ini mengulas perkembangan Pesantren Condong secara kronologis dari awal pendiriannya hingga era modern.

Awal Berdirinya Pesantren Condong

Tidak ada dokumen resmi yang menunjukan secara persis awal berdirinya Pesantren Condong. Namun, fakta sejarah pembangunan rel kereta api di Pulau Jawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda secara tidak langsung mengarahkan tahun pendirian Pesantren Condong, yaitu 1864. KH. Nawawi, seorang ulama asal Sukaruas, Rajapolah, Tasikmalaya, mendirikan pesantren ini di Kampung Condong, yang menjadi asal nama pesantren. Pada masa itu, pesantren hanya terdiri dari bangunan sederhana yang berfungsi sebagai tempat belajar agama. Sistem pembelajarannya masih tradisional, dengan pengajaran kitab kuning sebagai inti pendidikan. Fokus utamanya adalah mendidik santri agar menguasai ilmu agama dan mampu berdakwah di masyarakat.

Kepemimpinan KH. Adra’i

Setelah KH. Nawawi wafat, kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh putranya, KH. Adra’i. Beliau memperluas pengaruh pesantren dengan menambah jumlah santri dan meningkatkan kualitas pengajaran. KH. Adra’i adalah seorang ulama yang memiliki pengalaman belajar di berbagai pesantren, termasuk Pondok Pesantren Syaikhona Kholil di Pamekasan, Madura, dan di Makkah selama tujuh tahun. Pengalaman ini membentuk visi beliau untuk mengembangkan Pesantren Condong sebagai pusat pendidikan Islam yang lebih maju.

Pada masa KH. Adra’i, pesantren menerima hibah tanah seluas 500 tumbak dari Pangeran Kornel, seorang tokoh di Sumedang. Hibah ini memungkinkan pesantren untuk memperluas lahan dan membangun fasilitas yang lebih memadai bagi para santri.

Perpindahan Lokasi Pesantren

Perkembangan besar terjadi ketika pemerintah kolonial Belanda membangun rel kereta api yang melewati area pesantren. Hal ini memaksa Pesantren Condong untuk pindah ke lokasi baru. Dengan dukungan masyarakat, pesantren dipindahkan ke lahan wakaf seluas empat hektar milik Embah Azidin. Lokasi inilah yang menjadi tempat Pesantren Condong hingga hari ini.

Kepemimpinan KH. Hasan Muhammad dan KH. Damiri

Setelah wafatnya KH. Adra’i, kepemimpinan pesantren diteruskan oleh menantunya, KH. Hasan Muhammad. Namun, masa kepemimpinan beliau relatif singkat karena KH. Hasan Muhammad wafat saat anak-anaknya masih kecil. Kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh KH. Damiri, seorang santri senior yang merupakan menantu dari K.H. Hasan Muhammad.

KH. Damiri berperan penting dalam menjaga keberlangsungan pesantren di tengah berbagai tantangan, termasuk gejolak sosial dan politik pada masa penjajahan. Beliau mempertahankan tradisi pengajaran pesantren sambil tetap membuka diri terhadap pembaruan yang diperlukan.

Era Modern: Kepemimpinan KH. Ma’mun

Transformasi besar-besaran terjadi pada tahun 1986 ketika kepemimpinan pesantren dipegang oleh KH. Ma’mun. Beliau membawa perubahan signifikan dengan mengintegrasikan sistem pendidikan tradisional dengan pendidikan formal. Di bawah kepemimpinan KH. Ma’mun, Pesantren Condong mulai mengadopsi kurikulum modern yang menggabungkan pendekatan salafiyah, Pondok Modern Gontor, dan kurikulum nasional.

Almaghfurlah K.H. Ma’mun, salah satu Pimpinan Pesantren Condong (1986 – 2014) beserta istri.

KH. Ma’mun juga memperkenalkan berbagai inovasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, seperti pembelajaran berbasis teknologi dan pelatihan keterampilan hidup bagi santri. Visi beliau adalah mencetak alumni yang tidak hanya ahli dalam ilmu agama, tetapi juga mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Pengembangan Lembaga Pendidikan

Seiring dengan berjalannya waktu, Pesantren Condong mendirikan berbagai lembaga pendidikan formal, seperti SMP Terpadu Riyadlul Ulum Wadda’wah (2001), SMA Terpadu Riyadlul Ulum (2004), dan SMP Terpadu Riyadlul Ulum Wadda’wah Putri (2015). Di masa kepemimpinan K.H. Diding Darul Falah, Pesantren mendirikan lembagan pendidikan tinggi secara berturut-turut: STIABI Riyadlul Ulum (2019), ITB Riyadlul Ulum (2021). Lembaga-lembaga ini menawarkan pendidikan yang mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum, menjadikan santri mampu bersaing di era yang semakin kompetitif dan disruptif.

Fasilitas pesantren juga terus ditingkatkan, mencakup pembangunan masjid, ruang kelas modern, laboratorium, perpustakaan, dan asrama yang nyaman bagi santri. Pesantren ini juga aktif dalam program tahfidz Al-Qur’an dan pelatihan dakwah, yang semakin memperkuat identitasnya sebagai pusat pendidikan Islam yang komprehensif.

Kerjasama Internasional

Pada era modern, Pesantren Condong menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga internasional. Salah satu langkah penting adalah nota kesepahaman dengan Ma’had Tahfidz Arabic Al-Gontory di Selangor, Malaysia, yang mencakup program pertukaran pelajar dan pengembangan kurikulum. Langkah ini menunjukkan komitmen pesantren untuk terus berkembang dan memberikan dampak positif tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di kancah global. Sejarah Pesantren Condong adalah cerminan dari dedikasi dan perjuangan untuk mencetak generasi yang berakhlakul karimah, berwawasan luas, dan berdaya saing tinggi. Dari awal yang sederhana di Kampung Condong hingga menjadi lembaga pendidikan Islam terkemuka, pesantren ini terus berinovasi untuk menjawab tantangan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam yang menjadi pondasi utamanya. Pesantren Condong kini tidak hanya menjadi kebanggaan masyarakat Tasikmalaya, tetapi juga inspirasi bagi pesantren lain di seluruh Indonesia. []

[custom_views]

Share on :

Facebook
X
WhatsApp