
Anda pernah mendengar mengenai kisah The Jungle Book besutan Rudyard Kipling. Berkisah mengenai anak yang terdampar di hutan belantara dan dibesarkan oleh para Binatang? Atau lebih familiar dengan Tarzan seorang anak dari Inggris yang juga terdampar di pulau terpencil dan diasuh oleh para kera?.
Konsep cerita diatas memang menarik banyak orang, bahkan produsen film animasi terkenal seperti Walt Disney banyak mengadopsi film-filmya dari konsep tersebut.dibalik kesuksesan kisah-kisah diatas ternyata konsep cerita petualangan anak yang di didik oleh rimba itu bukan terlahir dari rahim Holywood di barat melainkan dari novel filsafat karya filsuf muslim pada abad ke-12.
Siapa itu Ibnu Thufail?
Ia adalah Ibnu Thufail,nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Thufail Al-Qisy. Atau lebih familiar di barat dengan nama Abubacer. Merupakan seorang polimatik yang menguasai berbagai bidang keilmuan seperti; kedokteran,filsafat,astronomi,sastra,dan teologi.Menurut Mahbub Djunaidi dalam tulisannya IBNU THUFAIL:Studi Kritis Filsafat Ketuhanan dalam Roman Hayy bin Yaqzan, Ibnu Thufail lahir pada 506 H/1110 M di Guadix,provinsi Granada,Spanyol yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Muwahiddun.
Setelah dewasa,Ibnu Thufail lanjut berguru kepada Ibnu Bajjah (1100 -1138 M) yang terkenal sebagai ilmuan multitalenta. Berkat beliau Ibnu Thufail menjelma menjadi seorang ilmuan yang masyhur dan juga menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Mengetahui kemasyhuran Ibnu Thufail pemerintahan Dinasti Muwahiddun mengangkatnya menjadi Sekertaris Gubernur Granada.Ia juga menjadi dokter pribadi sekaligus teman diskusi Khalifah Abu Ya’qub.
Berkat hubungan yang baik dengan Khalifah,Ibnu Thufail dipercaya sebagai semacam Menteri kebudayaan yang bertugas mengundang orang-orang terpelajar ke lingkungan istana. Salah satu yang mendapat undangan kehormatan tersebut adalah Ibnu Rusyd (Averroes) yang diperkenalkanya kepada Khalifah Abu Ya’qub. Ibnu Rusyd juga diberi kesempatan oleh Ibnu Thufail untuk menerjemahkan,meringkas dan memberi komentar terhadap karya-karya Aristoteles.Pemikiran Aristoteles yang pada awalnya sukar dimengerti dan menjelimet menjadi lebih mudah dipahami oleh khalayak umum.
Sebagian pemerhati filsafat mengatakan bahwa,Selain karya sastra fenomenal “Hayy Ibnu Yaqzan”,Ibnu Thufail pernah menulis tesis tentang ilmu kedokteran dan filsafat tetapi tesisnya tersebut tidak pernah sampai kepada kita sehingga dapat diakatakan roman filsafat “Hayy Ibnu Yaqzan”adalah satu-satunya karya beliau yang pernah ada.
Ibnu Thufail wafat di daerah Marrakesh pada tahun 581 H/1185 M. Dikisahkan bahwa sultan sendiri yang turun pada upacara pemakaman beliau sebagai bentuk penghormatan.

Mengapa disebut Novel Sains pertama?
Hayy Ibnu Yaqzan bukan hanya cerita fiksi biasa,tetapi juga membahas tentang biologi,observasi alam,evolusi sederhana,psikologi dan penalaran manusia.seluruhnya dijelaskan dengan narasi yang menarik dan sederhana sehingga dapat dipahami dengan mudah. Alur penelitian yang dilakukan para peneliti masa kini bisa dicocoklogikan dengan bagaimana tokoh Hayy mempertanyakan eksistensi alam semesta.
Dalam novelnya,diceritakan bahwa Yaqzan mempertanyakan kenapa “induk” rusanya bisa mati.ia mengamati dan menganalisis,tubuh sang “induk” rusa masih utuh namun tak bergerak. Lalu apa yang membedakan nya dengan rusa yang masih hidup?,maka untuk memuaskan rasa keingintahuannya ia menangkap rusa yang masih hidup dan membedah tubuhnya untuk kemudian membandingkan nya dengan mayat “induk’ rusa.ia menemukan di dekat jantung rusa yang masih hidup itu terdapat asap sementara pada mayat “induk” itu sudah tidak ada.maka ia menyimpulkan bahwa asap ini adalah semacam, ruh atau nyawa yang membuat makhluk itu hidup. Potongan cerita diatas merujuk kepada kerangka atau langkah-langkah dalam penelitian ilmiah. Tokoh Hayy mempelajari alam seperti ilmuan masa kini yaitu; mengamati,menganalisis,menguji,dan menyimpulkan.Ibnu Thufail menjelaskan teori alam semesta melalui cerita.ini memperkuat legitimasi Hayy Ibnu Yaqzan sebagai novel sains pertama.
Fathi Hidayah dan Muhammad Endy Fadlullah dalam jurnal Incare ,Vol.2,No1.di artikelnya yang berjudul “ Novel Hayy Ibn Yaqdzan Karya Ibn Thufail dan Novel Tarzan Of The Apes Karya Edgar Rice Burrough (Analisis Komparatif Struktur Naratif)”berpendapat,Meskipun kisah ini tidak orisinil-karena sebelum Ibnu Sina juga ternyata sudah muncul kisah serupa, seperti kisah Arab Kuno, Hunain ibn Ishak, Salman dan Absal Ibnu Arabi dan lain-lain. Akan tetapi, Ibnu Thufail menjadikan cerita Hayy ibn Yaqdzan sebagai roman filosofis yang unik. Novel ini menuntun kepada revolusi ilmiah.
Dikisahkan Hayy adalah seorang anak yang terdampar di sebuah pulau terpencil dan ditemukan oleh seekor rusa yang kelak mengasuhnya. Hayy sebagai manusia tanpa agama,budaya ditambah hidup seorang diri. Kemudian ia belajar dari alam,yang lalu menuntunnya menemukan Tuhan dengan berbekal akal dan kontemplasi.Ibnu Thufail berpendapat bahwa manusia punya kemampuan bawaan untuk mencari kebernaran dan alam sebagai “buku terbuka” sekaligus tempat belajar tanpa guru.Ibnu Thufail juga mempertemukan akal,sains,dan spiritualitas dalam satu narasi.
Relevansi Untuk Pendidkan Masa Kini
Konsep pembelajaran autodidak yang dibawakan pada novel Hayy Ibnu Yaqzan meupakan konsep yang relevan pada zaman modern ini. Hadirnya AI dan platform media sosial seperti YouTube dan TikTok menjadi faktor pendukung untuk belajar secara autodidak.Ibnu Thufail menekankan bahwa otak manusia dapat berkembang tanpa adanya guru dan system pendidikan formal. Namun,perlu digaris bawahi bukan berarti pendidikan formal seperti SD,SMP,SMA itu tidak penting.Tentu kita hidup bukan pada zaman purba yang dimana segala sesuatu itu dapat kita amati dan simpulkan secara sembarangan.tapi kita hidup zaman modern dimana segala hal itu sudah ditentukan;fungsi dan tujuannya.
Pun Ibnu Thufail berpendapat bukan berarti tidak perlu guru untuk mengetahui suatu hal tapi “guru” disini digantikan oleh rasa ingin tau dan alam semesta yang membimbing akal seorang Hayy dapat menyimpulkan adanya Tuhan dan keteraturan alam semesta. Maka system pendidkan formal berfungsi sebagai pembimbing dan pembentuk moral seseorang.sampai sini timbul pertanyaan; maka Dimana letak pembelajaran autodidak yang dicanangkan oleh Ibnu Thufail?
Nah.pembaca yang budiman,jika disambungkan dengan masa kini,proses yang dilakukan oleh Hayy adalah proses berpikir secara empiris atau sederhananya adalah memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indrawi.inilah yang digunakan oleh para ilmuan masa kini dalam penelitian. Dan pengetahuan yang sudah diperoleh itu tidak digunakan sembarangan melainkan digunakan untuk hal-hal yang positif dan bermanfaat.
Adapun pembelajaran autodidak yang dapat kita contoh dari kisah Hayy Ibnu Yaqzan ini adalah bagaimana kita memanfaaatkan pengetahuan yang sudah ada. Contohnya teknologi.perlu diketahui cepatnya penyebaran informasi di masa kini itu disebabkan oleh kemajuan teknologi khususnya di bidang media sosial. Akibatnya banyak informasi yang bertebaran di sekitar kita yang dapat mudah akita akses melalui gawai.Maka daya berpikir kritis itu dibutuhkan untuk memilah informasi yang kita lihat di gawai.sebagaimana Hayy yang tidak serta merta menemukan eksistensi Tuhan tanpa adanya pengalaman,dialektika, dan bukti yang konkrit.
Penutup
Melalui kisah Hayy Ibnu Yaqzan, Ibnu Thufail sebenarnya sedang mengingatkan kita bahwa manusia pada dasarnya punya rasa ingin tahu yang kuat. Kita belajar karena kita penasaran bukan semata-mata karena disuruh sekolah atau ikut pelajaran. Hayy, yang tumbuh sendirian tanpa guru, agama, atau budaya, menunjukkan bahwa akal manusia bisa berkembang hanya dengan mengamati dunia di sekitarnya.
Walaupun ditulis ratusan tahun lalu, pesan ini masih terasa sangat relevan hari ini. Di zaman ketika informasi berseliweran dari YouTube, TikTok, dan internet, kemampuan untuk berpikir kritis dan memilah pengetahuan menjadi lebih penting dari sebelumnya. Seperti Hayy, kita tidak cukup hanya melihat atau mendengar, tetapi perlu memahami dan membuktikan.
Akhirnya, Hayy Ibnu Yaqzan bukan sekadar cerita tentang anak yang dibesarkan alam, tapi juga ajakan untuk berani bertanya, mencari tahu, dan belajar sepanjang hidup. Dan mungkin, itulah warisan terbesar Ibnu Thufail: menunjukkan bahwa perjalanan menemukan kebenaran selalu dimulai dari satu hal;rasa ingin tahu.[]
Penulis: Muhammad Zahid Fathurrahman