
WWW.CONDONG.ID, TASIKMALAYA – Malam itu, suasana kelas di sudut selatan Pesantren Condong berbeda dari biasanya. Alih-alih belajar seperti biasa, para santri duduk rapi, menyimak satu per satu temannya berdiri di depan kelas, menyampaikan pidato dalam Bahasa Arab. Intonasi jelas, gerakan tangan terukur, dan sesekali diselingi senyum percaya diri.
Inilah suasana Muhadloroh, kegiatan ekstrakurikuler dua kali sepekan yang telah menjadi ruang berlatih berbicara di depan umum (public speaking) bagi seluruh santri. Digelar setiap Ahad dan Kamis malam, program ini menjadi salah satu ciri khas pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning) di Pesantren Condong.
“Dulu saya gemetaran kalau disuruh maju. Sekarang, Alhamdulillah sudah tidak gugup lagi,” kata Zaki, santri kelas 4 KMI dengan senyum malu-malu. “Awalnya saya cuma bisa Bahasa Indonesia. Itupun masih sering gugup. Sekarang, Alhamdulillah saya bisa ceramah singkat pakai Bahasa Arab dan Inggris.”
Mimbar Latihan, Bakat Dilahirkan
Dalam kegiatan ini, setiap santri akan mendapatkan giliran menyampaikan ceramah secara bergiliran dalam empat bahasa: Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Sunda. Sebelum tampil, santri diwajibkan menyiapkan teks pidato yang dikoreksi terlebih dahulu oleh pengurus OSPC (Organisasi Santri Pesantren Condong) Bagian Pengajaran.
“Tidak ada santri yang langsung jago bicara. Tapi kami siapkan prosesnya. Naskah dikoreksi, latihan dilakukan, dan pembimbingan berjenjang,” jelas Ustadz Ade Adin, salah satu pembimbing muhadloroh atau biasa disebut PUSDAC (Public Speaking and Discussion Advisory Council).
“Bagi kami, keberanian tampil adalah awal dari keberanian berpikir,” tutur ustadz yang memiliki prestasi seabreg dalam bidang public speaking ini.

Muhadloroh bukan sekadar kegiatan mingguan. Beberapa kali dalam setahun, pesantren menggelar Muhadloroh Akbar, yaitu ajang tampil di depan seluruh santri, mirip seperti khutbah Jumat atau orasi publik. Dari sini pula muncul talenta-talenta unggul yang dilatih lebih intensif dalam organisasi khusus: Jam’iyyatul Khutoba’ (JMK).
“Saya gabung JMK sejak kelas 2. Dulu gugup, sekarang justru sering jadi utusan pondok untuk lomba-lomba dai,” ujar Dani, anggota aktif JMK. “Saya jadi lebih percaya diri, tidak hanya untuk lomba, tapi juga ketika mengisi kultum di masyarakat.”
Dari Pesantren ke Panggung Nasional
JMK bukan sekadar wadah latihan internal. Organisasi ini telah berhasil mencetak dai-dai muda yang menjuarai berbagai kompetisi, mulai dari tingkat regional hingga nasional. Salah satunya adalah Syifa Misbah, yang berhasil meraih Juara Pidato Nasional dalam ajang POSPENAS IX di Surakarta tahun 2022.
Prestasi seperti ini menjadi cermin dari komitmen Pesantren Condong dalam memberikan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada akademik dan kitab kuning, tetapi juga pada kecakapan hidup (life skills), termasuk kemampuan komunikasi publik.
“Public speaking adalah modal dakwah. Santri yang bisa menyampaikan pesan Islam dengan santun, logis, dan terstruktur akan sangat dibutuhkan masyarakat,” tegas Ustadz Adin. “Itulah mengapa kegiatan ini kami anggap strategis.”
Bukan Sekadar Pidato, Tapi Proses Membentuk Pemimpin
Di Pesantren Condong, Muhadloroh bukan panggung semata. Ia adalah proses. Proses mengatasi rasa takut, belajar mendengar kritik, merangkai logika, hingga akhirnya percaya diri berbicara di hadapan banyak orang. Ia adalah tempat santri menyusun keberanian demi keberanian—yang kelak akan mereka perlukan saat berdiri di mimbar masjid, ruang rapat, atau forum dunia.
Setiap Kamis dan Ahad malam, di ruang-ruang kelas sederhana yang diterangi lampu neon, suara santri satu per satu menggema. Dengan logat yang kadang masih kaku, namun dengan tekad yang bulat. Mereka belajar bicara—bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk masa depan.
Di Pesantren Condong, mereka tak sekadar belajar bicara. Mereka sedang belajar menjadi suara umat.