Islam di Nusantara mengalami masa keemasannya yang kemudian ditenggarai oleh para wali (terutama Walisanga) dalam periode peralihan dari masa Hindu-Budha dan bertransformasi pada Islam. Islam kemudian menjadi landscape kuasa (kesultanan-kesultanan) hampir di semua kepulauan Nusantara. Memasuki paruh pertama abad ke-17, muncul suatu kongsi dagang yang datang dari benua Eropa (Portugis dan Belanda) yang kemudian mengubah laju Islam serta kekuasaan yang ada; Islam lalu mengalami semacam persimpangan sejarah.
Di periode ini Islam yang bersemai dan terjejaring dalam komunitas dagang di selat Malaka, dipukul mundur akibat kekalahan perang. Dalam keterangan sejarawan Antony Reid dan M.C Ricklefs, sebelum Portugis dan Belanda memukul mundur serta mengambil alih selat jejaring komunitas dagang tersebut, Malaka sudah menjadi representasi Islam Asia Tenggara yang di periode itu disebut-sebut sebagai pusat perdagangan kosmopolis. Lebih lanjut Antony Reid menerangkan, bahwa Malaka di periode itu merupakan Kawasan paling urban yang memiliki penduduk terpadat di dunia.
Ketika Malaka dan kesultanan-kesultanan di Nusantara runtuh, Islam kemudian dilanjutkan oleh komunitas cendikia Islam (Ulama) yang dalam periode ini, sebagaima dipotret oleh Azumardi Azra dalam disertasinya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, terjejaring dengan dunia Timur Tengah karena pengaruh masa sebelumnya dari kontak dagang. Komunitas cendikia (Ulama) ini membasiskan diri pada teks sebagai cermin otoritas ilmu, Islam di periode ini menjadi lebih modern karena memiliki dasar tradisi baru yang kuat berupa teks.
Karel Steenbrink, seorang sarjana Belanda memotret Islam periode tersebut dalam sebuah disertasinya dengan judul “Dutch Colonialism and Islam in Indonesia; Conflict and Contact 1596-1950”. Dalam temuannya, Steenbrink berpendapat bahwa akibat kolonialismelah Islam yang mula-mula berada di pusaran bandar-bandar itu merangsek ke pedalaman untuk bertahan dari agitasi kolonial. Salah satu tinggalan atau bentuk dan saksi bisu merangseknya Islam ke pedalaman itu adalah berdirinya pesantren.
Pesantren hadir sebagai tempat transmisi ilmu yang dibangun langsung oleh komunitas cendikia (Ulama) itu, dengannya, komunitas pesantren secara otomatis menjadi otoritas kecendikian (Ulama) dan menjadi bagian dari representasi Islam di Asia Tenggara.
Salah satu corak yang dominan di antara semua karya yang dihasilkan oleh kecendikiaan periode ini (periode ke-2; abad ke-16 sampai abad ke-18) adalah kecenderungannya pada tasawuf. Hal tersebut diafirmasi oleh Martin Van Bruinessen, bahwa Ulama di abad ke-16 dan ke-18 lebih dominan dan berorientasi pada tasawuf. Baru memasuki paruh kedua abad ke-18 hingga sekarang terjadi pergeseran dan berorientasi pada fiqih, termasuk di dalamnya pesantren-pesantren sebagai institusi yang menaunginya.
Salah satu yang melatari corak kekaryaan kecendikiaan di periode itu pada tasawuf adalah situasi zaman di bawah pengaruh langsung kekuasaan pemerintah kolonial yang represif, sehingga membutuhkan reaksi perlawanan untuk mempertahankan Islam. Semangat perlawanan ini kemudian yang menjadi dasar jihad anti kolonial hingga melahirkan peristiwa besar yang dinamakan Perang Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Para sejarawan memotret bahwa Perang Jawa tercipta karena memiliki basis yang kuat dari komunitas pesantren kiai-kiai di Jawa, dan para kiai ini merupakan produk dari kecendikiaan Islam.
Di antara ulama-ulama yang mencerminkan dari karya-karya tasawuf itu adalah Syekh Hamzah Fansuri, Abdurrauf As-singkili, Abdul Somad Al-Palembangi, Yusuf Al-Makasari dan sebagainya. Pengaruh dan karya-karyanya tidak hanya dibaca di Nusantara sendiri, namun juga sampai di Timur Tengah. Corak-corak pada tasawuf demikian memiliki pengaruh yang kuat hingga pada abad-abad kemudian, terutama dalam hal ini adalah tarekat yang merupakan aspek penting dalam penyebaran Islam, dan saya harus menyebut tarekat Satariyah yang memang di periode-periode itu (abad ke-16 hingga abad ke-18) banyak dianut dan cukup popular di kepulauan Nusantara.
Tarekat Satariyah ini pula yang kemudian dianut oleh hampir semua Kesultanan Islam di Jawa berikut para pujangga keraton di dalamnya. Hal demikian diungkapkan oleh Tomy Kristomy dalam disertasinya “Sign of The Wali”, mengemukakan bahwa masyarakat di abad itu jika kita datang ke Keraton (dalam disertasi ini Keraton Cirebon), maka akan tampak bahwa wacana keilmuan Islam dibentuk oleh pengaruh langsung tarekat Satariyah. Dan Satariyah, tambah Tomy Kristomy, disebut tarekat yang paling banyak menampung ekspresi-ekspresi lokal dari kebudayaan rakyat dalam pembentukan wacana keilmuan Islam.
Dari sinilah kerja penerjemahan Islam itu terjadi; bila kreatifitas-kreatifitas penerjemahan Islam di masa wali sembilan lebih banyak termuat pada unsur kebudayaan secara langsung seperti wayang, tari, tembang, dan kesenian lainnya, namun di periode kecendikiaan, kreatifitas penerjemahan Islam lebih termuat pada teks-teks tulisan (kitab kuning). Jika disebutkan di alinea sebelumnya kecendikiaan Islam itu adalah para ulama pesantren yang karya-karyanya berupa kitab kuning, terdapat pula teks-teks Islam itu yang lahir dari tradisi pujangga keraton dengan tradisi sufistiknya berupa serat-serat.
Di keraton Surakarta, hal tersebut tampak dari karya-karya keluarga Yasadipura dengan satu tokoh terkenalnya yaitu Ranggawarsita. Ada pula tokoh lain seperti Haji Hasan Mustafa di daerah Priangan, yang karya-karyanya hampir serupa dengan Ranggawarsita. Demikian pula di kepulauan Nusantara lain seperti Lombok, Aceh, Makasar, Banjar; terdapat ulama-ulama lokal yang serupa dengan itu, yaitu mempertemukan lokalitas kebudayaan setempat dengan universalitas Islam, dan begitulah warna Islam di kepulauan Nusantara diterjemahkan.
Kerja-kerja menerjemahkan Islam yang dilakukan oleh para cendikia Islam tersebut, bagi saya tidak lebih berbeda dengan penerjemahan Islam yang dilakukan oleh para sarjana Islam abad pertengahan di Andalusia yang dikenal dengan nama Baitul Hikmah di masa Al-Makmun. Sebab pertama, dilihat dari kualitas karya-karyanya merupakan potret periode kegemilangan Islam dan belum ada yang sebanding kualitasnya bila dikomparasikan dengan karya-karya pasca setelahnya. Kedua, Baitul Hikmah di Andalusia berhasil mengantarkan pada era baru benua Eropa yang kemudian melahirkan masa kelahiran kembali (renaissance) dan menuju era modern sekarang. Di Nusantara pun demikian, para cendikia Islam (ulama) mengalami periode kegemilangan di periode itu (abad ke-16 hingga abad ke-18), yang karya-karya dan pengaruhnya tidak hanya di Nusantara saja, namun juga di Timur Tengah. Pula karya-karya pujangga keraton dan penghulu agama seperti Ranggawarsita dan Haji Hasan Musatafa dinilai oleh sebagian peneliti sebagai karya gemilang yang memiliki pengaruh serta masih dibaca hingga hari ini. Keduanya juga dinilai telah mengantarkan pada generasi selanjutnya, yaitu di akhir masa kolonial menuju periode Indonesia merdeka dan era kebangkitan nasional melalui arketipe tokoh-tokoh pergerakan yang muncul.
Selebihnya, tentu terdapat perbedaan-perbedaan yang dipengaruhi oleh iklim budaya masyarakat tempat kerja-kerja penerjemahan Islam itu dilakukan. Namun yang jelas, dasar dan tujuannya tetap sama, ialah usaha menerjemahkan Islam sebagai rahmat atau agama kemanusiaan yang universal. Para cendikia (Ulama) Islam, sebagaimana dalam keterangan hadis, merupakan pewaris ilmunya para Nabi yang bertugas melanjutkan dan mendidik umat sebagai bentuk penyampaian risalah Islam.
Dengan demikian, umat di masa kini tetap terhubung dengan risalah Islam serta amaliah sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi. Ketika para cendikia ini hadir dan istoqamah dalam jalan ilmu sebagaimana para Nabi, maka Islam akan terus terjaga di setiap masa hingga akhir zaman.
[custom_views]
Share on :
Facebook
X
WhatsApp