Syekh Abdul Muhyi dan Persebaran Islam di Jawa Barat

Share on:

Facebook
X
WhatsApp

Pekan kedua september tahun ini bertepatan dengan bulan maulud, saya mengundang seorang penulis buku biografi ke sebuah program acara Condong Podcast. Buku tersebut kebetulan belum lama terbit, yakni bulan Juni 2025. Saya mendapati buku tersebut dari seorang teman salah satu komunitas yang mengadakan sebuah program kajian bernama Serambi Suluk di kota Tasikmalaya. Buku tersebut berjudul “Sang Wali Pamijahan: Rekonstruksi Sejarah, Ajaran, dan Jejak-jejak Dakwah Syaikh Abdul Muhyi di Tatar Pasundan”.

Buku ini terbilang langka, karena sepenulusuran saya pada sosok Syekh Abdul Muhyi, baru kali ini saya mendapati karya biografi tokoh dari abad-abad yang silam ditulis sebagaimana layaknya buku biografi modern, kendati pun buku ini masih bersifat informatif dan secara metodologi akademik masih bisa dikembangkan, namun hal itu tidak mengurangi pentingnya buku ini. Bulan ramadhan tahun 2024, saya bersama media pondok Cipasung sempat mengadakan kajian kultum melalui daring dengan mengundang Prof. Oman Faturahman untuk membahas Syekh Abdul Muhyi. Namun karena saat itu terbatasnya akses dan sumber-sumber yang saya dapatkan tentang Syekh Abdul Muhyi, maka pembahasan di acara kultum tersebut lebih pada ajaran-ajaran dan peninggalan Syekh Abdul Muhyi yang memang tesis dan disertasi doktoral Prof. Oman Faturahman membahas perihal itu.

Sebenarnya ada satu karya doktoral di bidang filologi yang sama dan lebih spesifik dan spasial membahas Syekh Abdul Muyi, yakni karya Prof. Tomy Kristomy di The Australia National University (ANU) berjudul “Sign of The Wali: Narratives at The Sacred Site in Pamijahan, West Java”, namun karena karya tersebut masih berbahasa Inggris sehingga baru terakses di kalangan civitas akademik.

Buku ini ditulis oleh seorang sarjana muda Islam bernama Yandi Irshad Badruzzaman, dalam keterangannya, buku ini lahir karena perguliran dengan karya biografi sebelumnya yang sudah dalam rencana dan sudah di tahap akhir penulisan. Bagi saya buku ini tidak kalah etnografiknya dengan karya yang lebih akademik lain seperti Prof. Tomy Kristomy, pasalnya Yandi Irshad (penulis buku) melakukan kerja-kerja sebagaimana yang dikerjakan oleh para antropolog dan filolog, yakni berkutat langsung dari ritus ziarah dan sumber-sumber lokal seperti Babad Pamijahan.

Bedanya, kerja antropolog dan filolog bisa sangat luwes; berkutat sekaligus berjarak, dan secara metodologi tentu lebih memiliki keketatan tertentu, dan secara kedalaman lebih interpretatif. Sementara penulis buku Yandi Irshad, agaknya masih di tahap awal dalam melakukan itu, namun demikian, sumber-sumber yang dirujuk sudah cukup otoritatif dalam memenuhi otentisitas primernya. Dengan demikian, buku ini menjadi bersifat informatif dan bisa dijadikan sumber informasi awal untuk penulisan dan penelitian-penelitian selanjutnya.

Buku ini terdiri dari sembilan bab; terbilang sangat cukup dalam ukuran sebuah penulisan biografi. Dua bab pertama membicarakan teori masuknya Islam ke Nusantara beserta para penyebarnya di periode awal, kemudian periode Wali Sembilan (walisanga) yang sangat gemilang dalam perkembangan Islam (Islamisasi) masyarakat Nusantara di abad ke-15. Dua bab ini menjadi pengantar sekaligus landskap yang menjadi isi buku secara keseluruhan, yakni Islam di Nusantara. Dalam bab ini juga sedikit dibahas perihal teori masuknya Islam ke Nusantara yang turut menjadi perdebatan para sejarawan modern. Ada yang menyebut di abad ke-11 dengan ditemukannya nisan Fatimah binti Maimun sebagai bukti arkeologis. Ada pula yang menyebut abad ke-12 sebagaimana dikemukakan oleh M.C Ricklefs dalam karya bukunya “A History Modern Indonesia Since C. 1200”. Selain itu, para sejarawan politik menyebut Islam baru bergerak secara masif di abad ke-15, ditandai dengan munculnya Kesultanan Demak sekaligus mengakhiri periode Hindu Majapahit.

Bab tiga dan empat, pembahasan masih pada lanskap sejarah, namun di bab ini lebih terperinci pada konteks wilayah dan latar kerajaan Mataram Islam (Yoyakarta saat ini) tempat Syekh Abdul Muhyi lahir dan dibesarkan hingga masa remaja, dari kerajaan Mataram Islam ini pula ayah Syekh Abdul Muhyi berasal, sebagai seorang penghulu agama. Pembahasan selanjutnya bergeser ke wilayah kerajaan Sumedang Larang yang saat itu menjadi pusat kebudayaan dan Islam di Priangan.

Dalam keterangan Prof. Herlina Lubis di bukunya yang berjudul “Kehidupan Kaum Menak: Priangan 1800 – 1942”, sekitar empat generasi di Priangan mengalami periode kekuasaan (lewat bupati-bupati) di bawah pengaruh langsung Mataram Islam. Hal tersebut terjadi karena pasca rutuhnya Padjajaran, tidak ada kekuasaan selanjutnya yang bertransformasi dan bisa menjadi teladan selain Mataram Islam. Dari Sumedang Larang ini pula ibunda Syekh Abdul Muhyi berasal, maka secara darah (nasab) Syekh Abdul Muhyi memiliki darah dari golongan bangsawan dua kerajaan sekaligus, yakni Mataram Islam dan Sumedang Larang. Dengan latar Sumedang larang ini pula, penulis menautkan lahirnya Sukapura (Tasikmalaya saat ini) bercorak kebudayaan dan Islam sesuai dengan ciri Sumedang Larang (Priangan), karena Pamijahan (tempat makam Syekh Abdul Muhyi dan Gua safarwadi) merupakan wilayah yang masuk ke Sukapura.

Barulah di bab keempat, kita mulai memasuki pembahasan Syekh Abdul Muhyi secara kronologis. Bab ini memulainya sebagaimana penulisan biografi yang lebih modern, yaitu alur yang kronologis; kelahiran, riwayat pendidikan, keberangkatan ke Aceh (nyantren), melanjutkan keilmuan Islam ke Baghdad dan pergi berhaji ke Mekah, hingga kembali pulang ke Jawa hingga wafat. Dituliskan dalam bab ini bahwa Syekh Abdul Muhyi tidak lama berada di Mataram tempat kelahirannya, di masa remaja ia sudah menimba ilmu ke Ampel Denta yang saat ini berada di Surabaya dan Giri Kedaton Gresik. Seusai dari keduanya, ia kemudian menyeberang ke Aceh yang merupakan pusat keilmuan Islam di Nusantara saat itu, dan dikenal dengan sebutan Serambi Mekah. Dari sini, mulai terlihat jejak sanad (transmisi) keilmuan Syekh Abdul Muhyi sampai ia mencapai kematangan ilmunya di Aceh hingga Bagdhdad di bawah bimbingan guru Syekh Kuala, atau lebih dikenal Syekh Abdurrauf As-singkili. Dari Syekh Abdurrauf ini pula kelak ia membawa dan mengembangkan tarekat shatariyah (sebagai unsur penting dalam penyebaran Islam) ke pulau Jawa.

Bab lima dan enam, kita melihat satu periode yang tidak kalah penting dalam hidup Syekh Abdul Muhyi, yakni mencari gua sebagaimana titah dari sang guru. Pencarian ini pula yang menjadikan Syekh Abdul Muhyi sebagai seorang sufi pengelena; sebuah ciri umum para sufi cendikia dan penyebar Islam klasik, sebagaimana pendahulu dari guru-gurunya seperti Ibn Arabi. Periode ini sekaligus menjadi periode yang melelahkan, karena sebelum menemukan gua safarwadi di Pamijahan, Syekh Abdul Muhyi mengalami persinggahan (station) dengan kurun waktu (tahun) yang berbeda-beda di beberapa tempat wilayah di Jawa Barat. Hingga pada akhirnya ia menemukan gua sebagaimana ciri khusus yang dititahkan oleh sang guru, yakni gua safarwadi yang berlokasi di daerah pesisir utara Tasikmalaya dan kelak bernama Pamijahan. Di Pamijahan inilah, Syekh Abdul Muhyi kemudian menetap, menyebarkan dakwah Islam hingga akhir hidupnya.

Pamijahan dalam telaah semantik atas Babad Pamijahan, Tomy Kristomy dalam disertasinya di bab 4; The Babad Pamijahan: Sunda, Java, and The Identity of The Pamijahanese” menjelaskan bahwa Pamijahan merupakan sebuah zawiyah yang kemudian membentuk identitas Islam yang bersintesis dengan kesundaan, setelah periode trasisinya dari Hindu Padjajaran. Di periode sebelumnya (sebelum Islam), zawiyah itu bernama Kabuyutan (Kabuyutan Galunggung), setelah mengalami peralihan, Islam kemudian menjadi identitas pengganti sekaligus perekat dengan budaya lokal kesundaan, sehingga yang tercipta kemudian (sebelum datangnya bangsa Eropa) tidak ada pengandaian lain menjadi orang Sunda di luar Islam, sebab hampir sepenuhnya sudah beralih dan bertransformasi pada Islam. Dengan demikian, Pamijahan kemudian menjadi salah satu pusat otoritas religius (The Religios Authority) baru dalam persebaran Islam di wilayah Priangan, Jawa Barat.

Bab tujuh merupakan satu chapter yang memotret periode akhir kehidupan Syekh Abdul Muhyi secara terperinci. Terdapat dua peristiwa penting yang dipotret dalam buku ini, sebelum Sang Syekh meninggal dunia, yaitu datangnya utusan dari mataram dan pemerintah kolonial Belanda, keduanya memiliki urusan yang berbeda. Pertama ia mendapat panggilan kembali dari Mataram Islam tempat kelahirannya. Panggilan itu perihal urusan keagamaan, dan secara resmi dengan surat kerajaan terlampir serta utusan yang datang bernama Ki Ngabehi Naya Kerti bertitimangsa pada jumat 16 Jumadil akhir tahun, B dari Sultan Adipati Ing Ngalaga. Sementara utusan dari pemerintah kolonial Belanda ialah urusan pajak dan peran Syekh Abdul Muhyi yang dianggap bisa menjadi ancaman pada stabilitas ekonomi politik kolonial yang telah mapan.

Islam pasca terjadinya perang Diponegoro dianggap sebagai ancaman paling serius oleh pemerintah kolonial, maka para pemimpin Islam (sebegaimana pangeran Diponegoro) mendapat pengawasan secara langsung dari pemerintah kolonial karena sifatnya yang memberontak. Terlebih Islam yang memiliki pengaruh tarekat (sebagaimana Syekh Abdul Muhyi) dengan tarekat shatariyahnya dapat mengancam pemberontakan sebagaimana terjadi di Banten yang dilakukan oleh para petani yang juga (meskipun tidak secara langsung) terafiliasi pemimpin Islam di bawah pengaruh tarekat (Lihat Sartono Kartodhirjo, Pembenrontakan Petani Banten 1888, Depok, Komunitas Bambu, 2015).

Sebelum meninggal dunia, Syekh Abdul Muhyi sempat terjatuh sakit, dan pada hari senin 8 Jumadil Awal, tahun 1151 H Sang Wali Pamijahan wafat. Beliau dimakamkan di bawah lereng bukit dengan sungai besar di bawahnya, makamnya hingga kini tidak pernah sepi dari para peziarah yang datang dari seluruh penjuru negeri. Konon, karena alasan tersebut (datangnya ribuan para peziarah) yang menjadikan daerah tersebut dinamakan Pamijahan, yaitu layaknya ikan yang hendak bertelur “mijah”, saking banyaknya peziarah diibaratkan seperti banyaknya telur yang hendak mijah yang berjumlah ribuan.

Terakhir bab delapan dan sembilan semacam pendokumentasian dari peninggalan Syekh Abdul Muhyi, termasuk di dalamnya istri, anak-anak, serta kerabat kemenakannya. Dari silsilah dan pendokumentasian ini pula babad pamijahan lahir dan ditulis. Manuskrip babad tersebut keberadaannya masih terjaga sampai sekarang, termasuk di dalamnya tertulis ajaran-ajaran dan silsilah sanad keilmuan yang menjadi ciri khusus kaum sufi dan cendikia Islam dari masa ke masa. Bab Sembilan sebagai pamungkas dan penutup, dipaparkan di dalamnya ajaran-ajaran inti Syekh Abdul Muhyi, yakni tarekat shatariyah.

Syekh Abdul Muhyi merupakan orang pertama yang membawa ajaran tersebut ke Jawa, sebelum tarekat itu dianut oleh hampir semua kesultanan Islam di Jawa, karena di abad-abad itu (abad ke-17) shatariyah menjadi tarekat yang paling luas pengaruhnya dan menjadi populer. Termasuk pula dalam konteks keraton-keraton Islam, shatariyah dianut oleh para pujangga keraton (terutama keraton Kasunanan Solo dari keluarga Yasadipura yang melahirkan Ranggawarsita). Selain itu, Shatariyah (sebagaimana keterangan Tomy Kristmomy dalam disertasinya) turut membentuk wajah epistemik Islam di tubuh keraton-keraton Nusantara (terlebih di Jawa) abad itu, sehingga wacana keilmuan Islam yang bercorak tasawuf kala itu sangat kental dengan warna shatariyah.

[custom_views]

Share on :

Facebook
X
WhatsApp