
WWW.CONDONG.ID, Tasikmalaya- Pekan Perkenalan Khutbatul Arsy (PPKA) di Pondok Pesantren Condong menjadi momen penting bagi seluruh santri untuk meneguhkan kembali niat dan semangat dalam menuntut ilmu. Dalam sambutannya, Pimpinan Pondok Pesantren Condong, K.H. Diding Darul Falah, menyampaikan pesan mendalam tentang arti perjuangan, amanah pesantren, serta tanggung jawab generasi santri terhadap masa depan bangsa dan agama.
K.H. Diding menegaskan bahwa kehidupan di pesantren bukan sekadar rutinitas belajar, melainkan bagian dari proses panjang untuk memperbaiki diri dan menyiapkan masa depan. Menjadi santri berarti memasuki jalan perjuangan, bukan perjuangan fisik dengan senjata, tetapi perjuangan ilmu yang ditempuh dengan pena, buku, disiplin, doa, dan pengorbanan. Setiap kesulitan yang dirasakan, baik kerinduan kepada orang tua, kepatuhan pada aturan, maupun kelelahan dalam belajar, merupakan bagian dari jihad yang bernilai di sisi Allah SWT. Dengan kesabaran itulah santri ditempa menjadi pribadi yang kuat dan tangguh.
Dalam sambutannya, beliau juga mengingatkan bahwa berdirinya Pondok Pesantren Condong merupakan hasil dari pengorbanan panjang para ulama, guru, dan orang-orang shalih yang telah mendahului. Pesantren ini ibarat pohon besar yang tumbuh dari benih keringat, doa, dan air mata. Pohon itu terus dipelihara dengan cinta dan disuburkan dengan pengorbanan, hingga kini memberikan buah yang bisa dinikmati oleh umat dan bangsa. Maka menjadi kewajiban generasi sekarang untuk merawat, menjaga, dan mengembangkan pesantren agar terus memberi manfaat.
Kiai Diding menyinggung pula perjalanan sejarah pesantren yang telah lebih dari satu setengah abad berdiri. Sejak tahun 2001, pesantren Condong mengembangkan sistem pendidikan terpadu yang memadukan ilmu agama, ilmu pengetahuan umum, dan keterampilan hidup. Tujuannya adalah melahirkan generasi insan paripurna: alim dalam agama, berkarakter mulia, memiliki wawasan luas, dan mampu bersaing di tingkat global. Dengan bekal itu, santri diharapkan mampu menjadi bagian dari cita-cita besar bangsa.
Pesan penting lainnya adalah bahwa menjadi santri berarti menerima amanah yang berat. Nama besar pesantren tidak lahir dari kenyamanan, melainkan dari doa para kiai, pengorbanan guru, serta cinta tulus orang tua. Karena itu, setiap santri harus merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga nama baik pesantren, melanjutkan perjuangan para pendahulu, dan memberikan kontribusi nyata bagi agama serta bangsa.
Mengakhiri sambutannya, K.H. Diding berpesan agar para santri tidak memandang pesantren hanya sebagai tempat menimba ilmu, tetapi juga medan perjuangan. Santri adalah penerus estafet, cahaya yang akan menerangi masa depan bangsa. Dengan doa, semangat, dan kesungguhan, beliau berharap para santri dapat tumbuh menjadi generasi yang kuat, berakhlak mulia, dan mampu mengangkat martabat pesantren serta bangsa di mata dunia.[]