Menanamkan Lima Pilar Perjuangan Pesantren dalam Perguruan Tinggi

Share on:

Facebook
X
WhatsApp

disarikan dari Tausiah Dr. KH. Mahmud Farid, M.Pd

“Jika ruh perjuangan ini hilang, maka perguruan tinggi pesantren hanya tinggal nama.” Pernyataan ini bukan sekadar peringatan, melainkan sebuah seruan yang menggema, mengingatkan kita betapa krusialnya lima ruh pesantren dalam membentuk karakter, membimbing arah, dan mendorong kemajuan sebuah institusi pendidikan. Pondok Pesantren Condong, dengan segala capaiannya, adalah bukti nyata bahwa kemajuan sejati tidak datang dari bantuan semata, melainkan karena ia dibantu setelah berjuang maju. Perjalanan historisnya, dari sebuah embrio kecil hingga kini menjadi lembaga yang disegani, adalah saga perjuangan yang dihela oleh lima pilar yaitu pilar perjuangn. Ini adalah cerminan filosofi bahwa setiap tetes keringat perjuangan, setiap lantunan doa, dan setiap tarikan napas pengabdian, berlandaskan pada prinsip-prinsip luhur yang tak tergoyahkan.

Mari kita selami lebih dalam lautan makna dari kelima pilar perjuangan yang menjadi denyut nadi Pondok Pesantren Condong, dan bagaimana semangat ini bisa diinternalisasikan dalam setiap perguruan tinggi, menciptakan generasi yang tak hanya cakap ilmu, tetapi juga kokoh jiwa.


1. Keikhlasan: Membakar Niat, Menerangi Jalan

Keikhlasan adalah pilar pertama, akar dari segala kebaikan, dan sumber energi yang tak pernah habis. Ini bukan sekadar niat di lisan, melainkan sebuah praksis jiwa yang menuntut kita untuk melepaskan diri dari belenggu pamrih duniawi. Melaksanakan setiap perbuatan, baik itu belajar, mengajar, beribadah, atau mengabdi, dengan niat yang tulus hanya untuk mencari ridha Allah SWT, adalah kunci utama. Dalam konteks perguruan tinggi, keikhlasan berarti para dosen mengajar bukan semata mengejar pangkat, mahasiswa belajar bukan hanya untuk nilai, dan seluruh civitas akademika berkarya bukan demi pujian semata.

Keikhlasan adalah ujian tersulit, namun di situlah letak kemuliaan dan keberkahan yang tak terhingga. Saat kita mampu melatih hati untuk ikhlas, setiap lelah akan menjadi ibadah, setiap kesulitan akan menjadi tangga menuju kemuliaan, dan setiap capaian akan menjadi hadiah dari-Nya. Ini adalah modal utama yang melampaui segala materi, membentuk integritas pribadi dan lembaga, serta menjadi fondasi bagi kepercayaan dan keberlanjutan. Tanpa keikhlasan, segala upaya, sehebat apapun, akan terasa hampa dan rapuh.


2. Kebersamaan: Merajut Hati, Membangun Kekuatan Kolektif

Pilar kedua adalah kebersamaan, sebuah nilai yang mentransformasi individu menjadi sebuah keluarga besar yang kokoh. Di pesantren, solidaritas dan gotong royong bukanlah konsep abstrak, melainkan napas kehidupan sehari-hari yang terwujud dalam setiap aktivitas. Dari membersihkan lingkungan, berbagi ilmu, hingga menyelesaikan masalah bersama, kebersamaan menciptakan ikatan emosional yang kuat antar sesama.

Dalam lingkungan perguruan tinggi, kebersamaan berarti menumbuhkan budaya kolaborasi, saling mendukung, dan menghilangkan sekat-sekat individualisme. Dosen tidak bersaing, melainkan berkolaborasi dalam penelitian dan pengabdian. Mahasiswa saling membantu dalam belajar, berorganisasi, dan mengembangkan diri. Seluruh elemen lembaga bahu-membahu untuk mencapai visi bersama. Kebersamaan adalah energi kolektif yang tak ternilai harganya. Ia melahirkan rasa memiliki, menumbuhkan empati, dan mempercepat langkah menuju kemajuan. Kekuatan sejati sebuah komunitas terletak pada bagaimana anggotanya mampu bersatu padu, menghadapi tantangan bersama, dan merayakan keberhasilan bersama.


3. Kesungguhan (Mujahadah): Berjuang Melampaui Batas, Meraih Impian

Mujahadah, atau kesungguhan, adalah pilar yang mendorong kita untuk melampaui batas diri, sebuah semangat pantang menyerah dalam setiap perjuangan. Ayat suci “man jahada fiina lnahdiyanna subulana” (barangsiapa bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami) adalah janji yang membakar semangat, menegaskan bahwa hasil tidak akan mengkhianati proses. Mujahadah menuntut kita untuk menjadi pribadi yang profesional dalam segala aspek: belajar dengan sungguh-sungguh hingga larut malam, beribadah dengan khusyuk di tengah kesibukan, dan menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab tanpa kompromi.

Bagi mahasiswa, mujajadah adalah disiplin diri untuk terus belajar, meneliti, dan berinovasi. Bagi dosen, ia adalah dedikasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, membimbing mahasiswa, dan memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat. Ini adalah tentang mengusahakan yang terbaik, bukan hanya sekadar memenuhi standar, tetapi melampauinya. Kesungguhan adalah mentalitas juara, semangat yang tak gentar menghadapi kegagalan, dan ketekunan untuk terus mencoba hingga berhasil. Tanpa mujajadah, potensi terbesar kita akan terpendam dan impian akan tetap menjadi angan.


4. Istiqomah: Menjaga Konsistensi, Membangun Keberlanjutan

Istiqomah adalah pilar yang mengajarkan arti konsistensi dan keteguhan. Ini adalah tentang menjaga langkah tetap berada dalam koridor nilai-nilai luhur, terus-menerus melakukan kebaikan, dan tidak mudah terombang-ambing oleh godaan atau perubahan zaman. Bagi pesantren, istiqomah berarti tetap teguh pada nilai-nilai agama, menjaga akhlak mulia, dan tidak terjebak dalam arus politik praktis yang dapat menggerus idealisme pendidikan.

Dalam konteks perguruan tinggi, istiqomah berarti konsisten dalam menjaga kualitas akademik, integritas moral, dan komitmen terhadap Tri Dharma Perguruan Tinggi. Ini adalah tentang membangun budaya kebaikan yang berkelanjutan, di mana setiap individu terus berproses untuk menjadi lebih baik setiap hari. Istiqomah memberikan kekuatan untuk melewati badai, mempertahankan jati diri, dan memastikan bahwa setiap kemajuan yang diraih bersifat kokoh dan berkelanjutan. Tanpa istiqomah, semangat akan cepat padam, dan upaya-upaya baik akan berhenti di tengah jalan.


5. Kesabaran: Senjata Paling Ampuh untuk Keteguhan Hati

Terakhir, namun tak kalah fundamental, adalah kesabaran. Pilar ini adalah pondasi bagi istiqomah, senjata paling ampuh yang memungkinkan kita untuk terus teguh di jalan kebaikan. Dalam setiap perjalanan hidup, rintangan, cobaan, dan tantangan adalah keniscayaan. Tanpa kesabaran, semangat bisa luntur, dan kita mungkin menyerah sebelum mencapai tujuan.

Kesabaran bukan berarti pasrah tanpa berbuat apa-apa. Sebaliknya, ia adalah keteguhan hati dalam menghadapi kesulitan, keyakinan teguh bahwa setiap kesulitan pasti memiliki kemudahan di baliknya, dan ketabahan untuk terus melangkah maju meskipun terasa berat. Ia adalah kemampuan untuk menahan diri dari kemarahan, kekecewaan, dan putus asa. Dengan kesabaran, kita dapat melihat hikmah di balik setiap ujian, belajar dari setiap kesalahan, dan bangkit kembali dengan semangat yang lebih kuat. Ia adalah penentu apakah kita akan mampu bertahan di tengah badai dan mencapai puncak kesuksesan.


Kelima pilar ini – Keikhlasan, Kebersamaan, Kesungguhan (Mujahadah), Istiqomah, dan Kesabaran – adalah ruh yang memberdayakan Pondok Pesantren Condong dan menjadikannya sebuah institusi pendidikan yang berkarakter. Menginternalisasikan nilai-nilai ini dalam setiap perguruan tinggi akan membentuk generasi yang tidak hanya unggul secara intelektual, tetapi juga kokoh secara spiritual, matang secara emosional, dan berakhlak mulia.

Mari kita jadikan pilar-pilar ini sebagai kompas dalam menapaki jalan pendidikan dan kehidupan.

Kelima pilar perjuangan Pondok Pesantren Condong — Keikhlasan, Kebersamaan, Kesungguhan (Mujahadah), Istiqomah, dan Kesabaran — adalah nilai-nilai universal yang relevan di setiap zaman. Namun, dalam konteks kehidupan modern yang serba cepat, penuh distraksi, dan sangat individualistis, beberapa pilar ini memang terasa lebih menantang untuk dihidupkan secara konsisten.

Menurut saya, pilar yang paling menantang untuk dihidupkan dalam konteks kehidupan modern saat ini adalah Keikhlasan.


Mengapa Keikhlasan Paling Menantang di Era Modern?

Di era modern, kita hidup dalam masyarakat yang didominasi oleh budaya pengakuan, validasi eksternal, dan pencitraan. Media sosial telah menjadi platform utama di mana setiap tindakan, prestasi, bahkan niat baik, seringkali berakhir diunggah untuk mendapatkan “likes,” komentar, atau pujian. Fenomena ini menciptakan tekanan bawah sadar untuk melakukan sesuatu bukan semata-mata karena niat tulus, tetapi karena potensi pengakuan atau manfaat yang akan didapat.

  • Distraksi Pencitraan: Kita cenderung lebih fokus pada bagaimana sesuatu terlihat di mata orang lain daripada esensi perbuatan itu sendiri. Misalnya, seseorang mungkin berdonasi lebih karena ingin terlihat dermawan di media sosial, bukan murni karena kepedulian.
  • Motivasi Eksternal: Sistem penghargaan modern seringkali didasarkan pada hasil yang terukur dan terlihat (promosi, gaji, popularitas), yang secara tidak langsung mendorong kita untuk mencari keuntungan pribadi atau pengakuan, bukan semata-mata ridha Allah SWT.
  • Kompetisi Individualistik: Lingkungan kerja dan pendidikan yang sangat kompetitif terkadang mendorong individu untuk menonjolkan diri sendiri, yang bisa mengikis niat tulus dalam berkolaborasi atau membantu sesama.

Jika keikhlasan luntur, maka pilar-pilar lain seperti kebersamaan, kesungguhan, istiqomah, dan kesabaran bisa jadi hanya dilakukan karena keterpaksaan, tujuan pragmatis, atau demi citra semata, bukan dari dorongan hati yang murni. Ini akan membuat fondasi perjuangan menjadi rapuh.


Bagaimana Mengasah Kelima Pilar dalam Konteks Kehidupan Modern

Meskipun menantang, bukan berarti mustahil untuk mengasah dan menghidupkan kelima pilar ini. Justru, keberadaan tantangan inilah yang menjadikan proses pengasahan semakin bernilai.

  1. Keikhlasan: Fokus pada Niat Batin dan Hindari Validasi Eksternal
    • Praktik Introspeksi: Biasakan bertanya pada diri sendiri setiap akan atau sesudah melakukan sesuatu: “Apa niatku yang sebenarnya melakukan ini?” Latih diri untuk mencari ridha Allah SWT sebagai satu-satunya tujuan.
    • Jauhi Riya’ (Pamer): Kurangi kebutuhan untuk mengunggah atau mempublikasikan setiap kebaikan yang dilakukan. Biarkan tangan kanan memberi dan tangan kiri tidak tahu.
    • Bersyukur: Fokus pada rasa syukur atas kemampuan untuk berbuat baik, bukan pada seberapa besar pujian yang diterima. Ini menggeser fokus dari validasi manusia ke validasi ilahi.
  2. Kebersamaan: Bangun Koneksi Autentik di Tengah Kesibukan
    • Inisiatif Kolaborasi: Secara aktif mencari peluang untuk bekerja sama, baik dalam proyek profesional, kegiatan sosial, atau bahkan hobi. Jangan hanya terpaku pada tugas individu.
    • Digital Detox & Interaksi Nyata: Luangkan waktu untuk melepaskan diri dari layar dan berinteraksi secara tatap muka dengan keluarga, teman, atau rekan kerja. Kualitas hubungan terbangun dari interaksi nyata.
    • Peduli Lingkungan Sosial: Ikut serta dalam kegiatan komunitas, gotong royong di lingkungan tempat tinggal, atau menjadi relawan. Ini menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama.
  3. Kesungguhan (Mujahadah): Disiplin Diri dan Melampaui Batas Kenyamanan
    • Tetapkan Tujuan yang Jelas: Miliki visi dan misi yang kuat dalam setiap pekerjaan atau studi. Ini akan menjadi bahan bakar untuk terus berjuang.
    • Atasi Prokrastinasi: Lawan kecenderungan menunda-nunda. Mulai dari langkah kecil, fokus pada proses, dan nikmati perjuangannya.
    • Belajar Hal Baru: Jangan takut keluar dari zona nyaman. Ambil kursus baru, pelajari keterampilan baru, atau hadapi tantangan yang belum pernah dicoba. Ini melatih otot “mujajadah” kita.
  4. Istiqomah: Membangun Kebiasaan Baik dan Lingkungan Mendukung
    • Rutinitas Konsisten: Bangun kebiasaan baik secara bertahap dan konsisten, misalnya membaca buku setiap hari, berolahraga, atau shalat tepat waktu. Sedikit tapi terus-menerus lebih baik daripada banyak tapi sporadis.
    • Filter Lingkungan: Kelilingi diri dengan orang-orang yang positif dan mendukung nilai-nilai yang ingin kita hidupkan. Jauhi lingkungan yang menarik kita keluar dari koridor kebaikan.
    • Refleksi Diri Berkala: Evaluasi secara rutin sejauh mana kita telah konsisten dalam menjalankan nilai-nilai yang diyakini. Jika melenceng, segera koreksi.
  5. Kesabaran: Latih Resiliensi dan Perspektif Jangka Panjang
    • Pahami Proses: Sadari bahwa setiap kesuksesan butuh waktu dan perjuangan. Jangan mudah putus asa jika hasil tidak langsung terlihat.
    • Manajemen Stres: Kembangkan strategi sehat untuk mengatasi stres (meditasi, olahraga, hobi). Ini penting agar kita tidak mudah menyerah saat tekanan datang.
    • Positive Self-Talk: Latih diri untuk berbicara positif kepada diri sendiri saat menghadapi kesulitan. Ingatkan bahwa “ini juga akan berlalu” dan “aku bisa melaluinya.”

Dengan terus mengasah kelima pilar ini, kita tidak hanya akan mampu bertahan di tengah arus kehidupan modern, tetapi juga menjadi pribadi yang lebih kuat, tangguh, dan bermakna. Membangun fondasi yang kokoh dalam diri kita adalah investasi terbaik untuk masa depan yang lebih baik, baik secara personal maupun kolektif.

[custom_views]

Share on :

Facebook
X
WhatsApp