Sebagai seorang alumnus Pondok Pesantren Condong yang menerapkan penggabungan antara tradisi pesantren dan pendidikan modern, saya merasa keduanya memang tidak bertentangan. Pondok Pesantren Condong menerapkan sistem terpadu (keterpaduan); yaitu tradisi pesantren berupa kitab kuning, disiplin pondok modern gontor, serta pendidikan sekolah nasional. Usai menamatkannya selama enam tahun, saya kemudian merasa berbeda ketika melanjutkan studi ke salah satu perguruan tinggi negeri (kampus umum) di Yogyakarta. Perbedaan tersebut saya rasakan ketika bertemu teman-teman kuliah yang notabenenya lulusan sekolah negeri umum, kemudian dengan beberapa teman kampus yang lulusan dari pondok modern gontor, begitu pula ketika selama kuliah saya bermukim di pondok yang mengkhususkan diri pada praktik dan pelajaran Islam klasik abad pertengahan yang dikelola oleh yayasan filantropi dunia yang berpusat di Turki. Namun dari semua perbedaan dari corak-corak tersebut, saya menjalaninya dengan beriringan dan tidak ada pertentangan yang berarti.
Tulisan ini semacam refleksi untuk memperingati atau milad Pondok Pesantren Condong yang ke-25. Dengan demikian, tulisan ini akan berangkat dari penelaahan sejarah, karena sejarah merupakan cermin yang paling jernih untuk kita bisa melihat masa depan. Secara spesifik, tulisan ini merupakan usaha penelaahan dari tiga karya disertasi yang diterbitkan dengan bahasa Inggris, dan saat ini sudah diterjemahkan menjadi sebuah buku ke dalam bahasa Indonesia. Harus diakui, hingga saat ini terbilang masih sedikit para sarjana Islam di Indonesia yang meneliti dan menulis tentang pesantren. Karya yang familiar tentunya karya dari peneliti asal Belanda Martin Van Bruinessen berjudul “Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat”. Namun yang lebih khusus meneliti tentang pesantren (karya disertasi) baru ada tiga; pertama dari peneliti asal Amerika berjudul “Peaceful Jihad”. Penulisnya merupakan seorang antropolog bernama Ronald Alan Lukens-Bull yang proses penelitiannya di bawah bimbingan langsung seorang orientalis ahli Islam Jawa, yaitu Prof. Mark Woodward. Karya kedua berjudul Pesantren Tradition (diterjemahkan dengan judul “Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Islam Indonesia”) karya Zamakhsyari Dhofier. Buku ini bisa dibilang karya sarjana Islam Indonesia pertama dalam menulis pesantren hingga kemudian menjadi bahan rujukan para peneliti berikutnya. Karya ketiga adalah disertasi Abdurrahman Mas’ud berjudul “The Pesantren Architects and Their Socio-Religious Teachings”.
Usaha penelaahan dari karya disertasi yang meneliti tentang pesantren tersebut, saya melihat ketiganya memiliki kesamaan dalam hal aspek pendidikan sebagai subjek utama penelitian. Ciri pendidikan ini kemudian menjadi jalan atau ciri umum yang dipilih oleh pesantren hingga membentuk identitasnya sejak awal. Aspek pendidikan ini pula yang kemudian menjadi pembeda dengan pola pendidikan sekolah pada umumnya, yaitu pendidikan bukan sebatas sarana pengajaran, namun sebagai sarana pembentukan moral dan kepribadian. Pendidikan sekolah nasional di Indonesia merupakan pendidikan yang dibentuk dan hasil peninggalan Belanda. Sejak awal pendidikan tersebut bertujuan untuk mencetak pegawai (amtenar) dan pangreh praja (pejabat birokrasi), maka dasarnya ia bersifat sekuler, karena dalam sistem pengajarannya memisahkan pengetahuan umum dengan pengetahuan agama. Maka sebaliknya, pesantren hari ini (termasuk dalam hal ini Pesantren Condong) tidak ingin terjebak dalam pemisahan (sekularitas) tersebut, karena dalam warisan tradisi Islam (terutama sejak abad pertengahan) ulama-ulama Islam berikut sebagai seorang ilmuwan, begitu pula para pedagang Islam di masa persebaran Islam di Nusantara berikut seorang faqih.
Nusantara di abad ke-16, sebagaimana dalam catatan-catatan sejarah Asia Tenggara, (Lihat Antony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di Bawah Angin, Jilid I dan II), Islam berada di pusaran kota-kota bandar. Hampir semua kepulauan terdapat kesultanan-kesultanan Islam yang penunjang sarana pendidikannya adalah pesantren. Begitu pula dengan raja di keraton-keraton Nusantara, semuanya hasil didikan di pesantren. Kemudian memasuki paruh pertama abad ke-17, muncul kongsi dagang asing (VOC) dan pemerintah kolonial yang memukul mundur kesultanan Islam di pusaran-pusaran bandar itu. Kekalahan perang tersebut berimplikasi langsung pada eksistensi pesantren yang kemudian lebih banyak bergerak dan merangsek ke pedalaman. Gerak ke pedalaman lantas menjadi saksi bisu dan latar keberadaan mayoritas pesantren hari ini. Dengan latar demikian, sangat wajar bila di abad-abad selanjutnya (bahkan hingga hari ini) pesantren dianggap tertinggal dan jauh dari peradaban atau kemajuan dunia modern. Pertama, karena kekalahan perang berikut kebijakan kolonial (penjajah) yang represif terhadap Islam. Kedua, karena pesantren tidak terlibat langsung (menjaga jarak) dengan perubahan dan dinamika politik temporal.
Nurcholish Madjid dalam kumpulan esai-esainya berjudul “Bilik-bilik Pesantren”, berpendapat bahwa Indonesia mengalami persimpangan sejarah dengan berkuasanya pemerintah kolonial. Ia berhipotesa seandainya Indonesia tidak mengalami persimpangan sejarah dan mengalami periode penjajahan, sangat mungkin pesantren hari ini berada di pusat-pusat kota serta layaknya kampus-kampus bergengsi di Eropa. Pasalnya, kampus-kampus seperti Oxford, Harvard, dan sebagainya pada mulanya merupakan sebuah pendidikan berbasis agama (biara) sebagaimana pesantren. Namun sejarah berkata lain, dan pesantren harus menerima kenyataan lain dengan tumbuh dalam medan-medan baru di pedalaman.
Seiring dengan itu, di penghujung masa kekuasaannya di tanah Hindia Belanda, pemerintah kolonial memberlakukan politik etis dengan dibukanya akses pendidikan sekolah bagi semua masyarakat bumiputera. Di rentang pemberlakuan politik etis itu, pesantren yang sudah eksis di rentang masa sebelumnya terus mengalami peminggiran. Hal tersebut di samping karena alasan teologis agama, juga menyangkut nilai ideologis yang berbeda dan bersebrangan dengan kepentingan pemerintah kolonial. Karena dalam rangka menjemput dunia modern yang global, masyarakat bumiputera harus bersekolah dengan pendidikan gaya eropa yang sekuler, sebagaimana diberlakukan dalam kebijakan pendidikan politik etis. Dengan demikian, pesantren secara otomatis menjadi dan memiliki tantangan yang lebih ekstra (jihad akbar) dalam memposisikan dirinya untuk bisa bertahan serta relevan seiring dengan perkembangan dan perubahan dunia yang terjadi. Sampai di tahap ini, kita bisa membayangkan bahwa tantangan yang dihadapi pesantren bukanlah perkara mudah, namun di situlah apa yang dimaksud dengan jihad pendidikan (peacefull jihad) pesantren itu diuji.
Memasuki paruh kedua abad ke-20, pesantren menghadapi kegoncangan dan pilihan-pilihan yang sulit, yakni tatanan dunia modern dalam arus globalisasi. Pada masa-masa itu, tradisi dan pengetahuan dalam pola pendidikan agama yang selama itu hidup dan terjaga di pesantren melalui pengalaman-pengalaman langsung (living sunnah) mengalami kegoncangan. Karena dalam arus globalisasi, pengalaman dan pengetahuan yang bersifat langsung tersebut mengharuskan pada kebutuhan akan pembentukan identitas yang terkonstruksi sebagai prasyarat masuk pada pergaulan bangsa-bangsa dunia. Hal ini kemudian menandai sebuah zaman baru yang dihadapi pesantren dan disebut sebagai zaman modern. Di zaman modern, pesantren dihadapkan pada persoalan zaman yang dilematis, yaitu derasnya arus ilmu pengetahuan dan teknologi dari Eropa (Barat) yang bersifat sekuler. Dilematis karena di satu sisi ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut (kendati pun sekuler) merupakan capaian peradaban manusia abad ini dan turut membentuk realitas dunia, di saat bersamaan bila penggunaan dari capaian-capaian ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak diiringi dengan pertimbangan dan koridor-koridor normatif, yang terjadi justru akan merusak pesantren itu sendiri. Sehingga, jalan tengahnya adalah pesantren bisa menerima hal itu semua jika sudah dirasa membutuhkan, dan disesuaikan dengan norma-norma yang ada. Dan jalan untuk mengetengahi itu semua, pesantren tetap konsisten tetap berada di jalan pendidikan.
Memadukan Pelajaran Umum dan Pengajaran Agama
Tebu Ireng dipilih oleh beberapa peneliti sebagai pesantren pertama yang memasukan unsur pendidikan sekolah ke dalam pegajaran pesantren. Tebu Ireng menjadi semacam contoh pesantren yang dianggap cukup berhasil dalam memadukan kedua sistem pendidikan yang berbeda: sistem sekolah bersifat sekuler, dan pesantren bersifat religius. Dalam masalah ini, seorang antropolog paling berpengaruh Clifford Geertz dalam karyanya yang berjudul “Santri, Priyayi, Abangan” menjelaskan dan menganjurkan bahwa sistem sekolah yang dianggap sekuler karena bentukan pemerintah kolonial, bagaimana pun pesantren (terlebih Kyai) harus menimbang diri untuk bisa menerima dan bergabung dengan pola pendidikan baru dalam struktur dunia modern (negara bangsa). Hal demikian ungkap Geertz; bukan lagi soal sifatnya yang sekuler, namun sebagai sebuah pilihan dengan implikasi-implikasi yang sebenarnya bisa diminimalisir dari sifatnya yang sekuler itu. Bila tidak demikian, pesantren akan kehilangan andil dan pengaruhnya yang lebih besar dalam membentuk wajah Islam Indonesia yang sudah bergabung dalam negara bangsa (Pancasila) modern. Implikasi lebih besarnya tentu Islam di Indonesia (dalam hal ini komunitas pesantren), tidak akan mampu bertransformasi dan menghadapi tantangan zaman modern yang semakin kompleks sebagaimana mestinya.
Setelah munculnya pesantren yang menggabungkan dengan pelajaran sekolah, meskipun di fase awal-awal cukup terbatas, namun pesantren dengan corak seperti ini menjadi model baru yang mewarnai dinamika perubahan pesantren kiwari. Hal tersebut termasuk Pondok Pesantren Condong yang menambahkan disiplin dan kurikulum pondok modern Gontor. Bahkan dalam dekade-dekade ini, muncul kecenderungan baru orang tua kelas menengah perkotaan lebih memilih menyekolahkan anaknya ke pesantren yang memadukan dengan kurikulum sekolah ketimbang menyekolahkan ke sekolah negeri pada umumnya. Hal ini berdasar karena sekolah negeri umum sangat terbatas dalam memberikan pelajaran dan pendidikan agama, dan hanya pesantrenlah yang mampu memberikan pengajaran agama tersebut dalam memenuhi pengetahuan agama serta pembentukan moral anak-anak mereka. Selain itu, pasca era reformasi (terutama andil dari Gusdur), lulusan-lulusan pesantren kini sudah banyak yang bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi dalam negeri dan luar negeri, sebagaimana lulusan-lulusan sekolah negeri pada umumnya. Hal tersebut semakin memperkuat posisi pesantren yang memilih menggabungkan dengan sistem sekolah (seperti halnya Pesantren Condong), untuk ia semakin relevan dan kontekstual untuk menjembatani beban sejarah pendidikan di Indonesia, sekaligus bisa menjadi pilihan yang baik bagi pendidikan generasi mendatang.
Perguruan Tinggi Pesantren
Mungkin ini perkembangan terbaru yang dialami oleh pesantren modern hari ini, termasuk Pondok Pesantren Condong, yakni berdirinya perguruan tinggi. Tujuan dan penekanan dibangunnya perguruan tinggi yaitu tetap kembali pada peran dan nilai-nilai lama pesantren, yakni perihal etika. Hal tersebut pernah diungkapkan oleh KH. Hasyim Muzadi bahwa “perguruan tinggi mencetak orang-orang cerdas, tetapi belum tentu mereka bermoral”. Perguruan tinggi merupakan tingkat akhir dalam mematangkan keilmuan dan keahlian. Karena pesantren modern telah bergerak dan merangkul perkembangan dunia modern, maka perguruan tinggi yang merupakan tahap akhir dari pendidikan sekuler harus tetap ditransmisikan dengan nilai-nilai awal Islam pesantren.
Dalam milad ke-25 ini pula, pesantren condong sekaligus akan meresmikan perguruan tinggi dengan nama Universitas Riyadlul ‘Ulum (UNIRU). Dalam visi yang tercantum, tertulis bahwa tujuan didirikannya perguruan tinggi pesantren adalah untuk mencetak generasi ulama berikut cendikiawan yang mampu mengintegrasikan ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu modern. Sepintas saja kita bisa menilai, bahwa pesantren modern tidak ingin terjebak pada pemisah-misahan (sekuler) ilmu, sehingga ilmu-ilmu modern yang awalnya dianggap sekuler bisa diintegrasikan dengan ilmu-ilmu keislaman.
Di masa-masa awal penerimaan masyarakat Islam pada nilai-nilai modern berikut di dalamnya adalah ilmu pengetahuan, muncul reaksi sebagian sarjana Islam untuk membersihkan ilmu pengetahuan tersebut dari coraknya yang sekuler secara langsung, yakni islamisasi ilmu pengetahuan. Pesantren yang memiliki basis nilai-nilai lokal karena menyangkut keberadaannya dengan lokalitas masyarakat setempat, tentu akan menjadi berbeda dengan sebagian sarjana Islam di masa awal tersebut, karena tidak semua ilmu harus berasas pada pakem-pakem islamisasi; karena dalam lokalitas, yang diperlukan pesantren hanya merangkul nilai-nilai lokal tersebut sebagaimana adanya. Bila kita sedikit berkaca pada sejarah, hal itulah yang justru dilakukan oleh wali sembilan (walisanga) dalam melakukan penyebaran Islam di kepulauan Nusantara.
Sebagai penutup, kita tentu mengerti pesantren yang selama ini istiqamah dalam menjaga tradisi dana nilai-nilai moral, memiliki kekhawatiran bila dengan berdirinya perguruan tinggi sebagai tahapan tertinggi dari jenjang sekolah (keterpelajaran), tidak beriring dengan kematangan moral. Namun bila tingkat keterpelajaran mampu beriring dengan kualitas kematangan moral, maka pesantren dan para santri akan lebih siap mengartikulasikan apa yang dimaksud jihad damai (peaceful jihad) untuk mengarungi era global ini dan turut serta mengantarkan generasi dan zaman yang akan datang.