Muhammad Al-Fatih, atau dikenal juga sebagai Mehmed II, adalah salah satu pahlawan Muslim paling berpengaruh dalam sejarah. Dia merupakan Sultan ketujuh dari Kesultanan Utsmaniyah yang memerintah dalam dua periode: 1444–1446 dan 1451–1481. Mehmed lahir pada 30 Maret 1432 di Edirne, ibu kota Kesultanan Utsmaniyah kala itu. Dia adalah putra Sultan Murad II dan Hüma Hatun.
Sejak usia muda, Mehmed menunjukkan kecerdasan luar biasa dan semangat belajar yang tinggi. Dia menguasai berbagai disiplin ilmu; militer, matematika, ilmu pengetahuan, dan menguasai delapan bahasa di usianya yang baru 21 tahun. Pendidikan Mehmed dipandu oleh para guru terbaik yang ditunjuk oleh ayahnya, termasuk Molla Gürani dan Syaikh Muhammad Syamsuddin bin Hamzah yang lebih dikenal sebagai Syaikh Akshamsaddin. Pengaruh Syaikh Akshamsaddin sangat besar dalam membentuk visi Mehmed, terutama mengenai pentingnya penaklukan Konstantinopel.
Pada usia 12 tahun, Mehmed naik takhta menggantikan ayahnya, Sultan Murad II yang memilih untuk lebih fokus pada kegiatan keagamaan dan seni. Dalam situasi ini, pemerintahan Utsmani berada di bawah kendali kuat Wazir Agung Çandarlı Halil Pasha. Namun, ancaman eksternal segera muncul ketika Kerajaan Hungaria yang dipimpin oleh János Hunyadi melanggar Perjanjian Szeged (1444). Sultan Murad kembali memimpin pasukan untuk menghadapi ancaman tersebut.
Pertempuran besar terjadi di Varna pada 1444, yaitu pasukan Utsmani berhasil mengalahkan aliansi Kristen yang dipimpin oleh Raja Władysław III dari Hungaria dan Polandia, János Hunyadi, serta Mircea II dari Wallachia. Setelah kemenangan ini, Murad kembali ke takhta atas desakan Çandarlı Halil Pasha. Dia memimpin hingga wafat pada 18 Februari 1451, dan Mehmed kembali naik takhta pada usia 19 tahun.
Setelah kembali menjadi Sultan, Mehmed memusatkan perhatian pada misi besar: menaklukkan Konstantinopel, kota strategis yang telah lama diimpikan umat Islam untuk ditaklukkan. Pada 1453, Mehmed memimpin pengepungan kota tersebut dengan pasukan besar yang berjumlah antara 80.000 hingga 200.000 orang, didukung oleh artileri berat dan armada laut yang kuat.
Kota Konstantinopel dikelilingi oleh laut dan darat, sementara pelabuhan Tanduk Emas dilindungi oleh rantai besar dan armada 28 kapal. Strategi brilian Mehmed, termasuk memindahkan kapal-kapal melalui daratan untuk melewati penghalang rantai, berhasil melemahkan pertahanan kota. Pada 29 Mei 1453, setelah pengepungan selama hampir dua bulan, Konstantinopel jatuh ke tangan Kesultanan Utsmaniyah. Peristiwa ini menandai akhir Kekaisaran Bizantium dan awal dari transformasi Konstantinopel menjadi Istanbul, ibu kota Kesultanan Utsmaniyah.
Sultan Mehmed terus memperluas wilayah Kesultanan Utsmaniyah hingga akhir hayatnya. Namun, pada 3 Mei 1481, dia wafat dalam perjalanan militernya pada usia 49 tahun. Penyebab kematiannya masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan. Sebagian percaya bahwa dia diracun oleh putranya, Bayezid II, sementara teori lain menyebutkan bahwa dokter pribadinya, seorang mualaf Yahudi, terlibat dalam kematiannya.