
KERUSUHAN Tasikmalaya, yang terjadi pada 26 Desember 1996, merupakan salah satu peristiwa besar yang mengguncang Indonesia di akhir masa Orde Baru. Peristiwa ini mencerminkan luapan ketidakpuasan masyarakat terhadap ketidakadilan dan perilaku sewenang-wenang aparat keamanan. Kerusuhan ini tidak hanya menimbulkan kerusakan material tetapi juga menciptakan trauma sosial yang mendalam di Tasikmalaya. Untuk memahami peristiwa ini, penting melihat latar belakang, kronologi, serta dampaknya pada masyarakat dan pemerintah.
Latar Belakang Kerusuhan
Kerusuhan ini bermula dari insiden yang melibatkan seorang guru agama (Dr KH Mahmud Farid MPd – Wakil Pimpinan Pesantren Condong saat ini) dan santri yang diduga dianiaya oleh aparat kepolisian di Tasikmalaya. Dalam masyarakat Tasikmalaya, yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat dan menghormati ulama serta tokoh agama, tindakan tersebut dianggap melukai harga diri umat Islam. Isu ini menyulut emosi massa yang sudah lama merasakan ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kesenjangan sosial dan perlakuan represif dari aparat keamanan.
Pada saat itu, ketegangan sosial semakin diperburuk oleh ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola berbagai masalah, termasuk isu ekonomi dan politik. Ketidakpuasan masyarakat yang terpendam, terutama terhadap pemerintah Orde Baru, menemukan salurannya melalui kerusuhan ini. Isu yang awalnya bersifat lokal kemudian meluas menjadi bentuk perlawanan terhadap simbol-simbol otoritas yang dianggap menindas.
Kronologi Peristiwa
- 25 Desember 1996
Ketegangan mulai meningkat setelah beredarnya kabar mengenai perlakuan kasar aparat terhadap seorang guru agama dan santri. Insiden ini memicu kemarahan di kalangan masyarakat Tasikmalaya yang memandang tindakan aparat tersebut sebagai bentuk penghinaan terhadap ulama.
- 26 Desember 1996
Ribuan orang berkumpul di pusat kota untuk melakukan demonstrasi damai, menuntut keadilan atas insiden tersebut dan meminta aparat bertanggung jawab. Namun, massa yang semakin banyak dan emosi yang memuncak membuat situasi sulit dikendalikan. Kerusuhan pun pecah, dengan aksi massa yang melibatkan pembakaran kantor pemerintah, kantor polisi, tempat ibadah non-Muslim, dan fasilitas umum lainnya.
- Pasca Kerusuhan
Aparat keamanan dikerahkan untuk meredakan situasi, tetapi respons yang represif justru memperburuk ketegangan. Setelah beberapa hari, situasi berangsur-angsur dapat dikendalikan, meski meninggalkan kerusakan besar dan luka sosial yang mendalam di kalangan masyarakat.
Dampak Kerusuhan
- Kerugian Material dan Trauma Sosial
Kerusuhan ini mengakibatkan kerusakan besar pada berbagai bangunan milik pemerintah, tempat ibadah umat Nasrani, dan properti milik masyarakat. Dampak ekonominya terasa cukup signifikan, terutama bagi komunitas yang menjadi sasaran kekerasan. Selain itu, peristiwa ini meninggalkan luka sosial yang mendalam, menciptakan ketegangan dan ketidakpercayaan di antara kelompok masyarakat serta aparat keamanan.
- Penguatan Peran Pesantren dan Tokoh Agama
Pasca-kerusuhan, pesantren-pesantren di Tasikmalaya, termasuk Pondok Pesantren Condong dan pesantren lainnya, berperan aktif dalam meredam emosi masyarakat serta memulihkan situasi sosial. Tokoh-tokoh agama mengambil peran penting dalam menenangkan massa dan membangun dialog yang mendorong rekonsiliasi serta perdamaian.
- Refleksi terhadap Kebijakan Pemerintah
Kerusuhan Tasikmalaya menjadi cermin bagi pemerintah Orde Baru tentang perlunya perubahan dalam pendekatan terhadap masyarakat. Ketidakadilan dan perlakuan represif oleh aparat keamanan dianggap sebagai pemicu utama ketegangan sosial. Peristiwa ini turut menjadi salah satu indikasi awal bahwa rezim Orde Baru berada di ujung kejatuhan, yang akhirnya terjadi dua tahun kemudian pada 1998.
- Reformasi dalam Pendekatan Keamanan
Peristiwa ini menyoroti pentingnya pendekatan yang lebih humanis dan adil dalam menangani persoalan sosial. Setelah kerusuhan, terjadi pergeseran pandangan di kalangan masyarakat dan pemerintah tentang perlunya dialog, keadilan, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai pilar penting dalam menjaga ketertiban dan keamanan.
Pelajaran dari Kerusuhan Tasikmalaya
Kerusuhan Tasikmalaya tahun 1996 menyisakan banyak pelajaran berharga. Peristiwa ini menunjukkan betapa pentingnya keadilan sosial, dialog, dan pendekatan non-represif dalam mengelola ketegangan masyarakat. Ketidakpuasan yang terpendam, jika tidak ditangani dengan bijak, dapat menjadi bara yang meledak sewaktu-waktu, mengancam stabilitas sosial dan keamanan.
Di sisi lain, pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan memiliki peran strategis dalam meredam konflik serta menciptakan harmoni sosial. Dengan pendekatan yang moderat dan mengedepankan dialog, pesantren seperti Pondok Pesantren Condong terus berperan sebagai pilar dalam membangun perdamaian dan memberdayakan masyarakat, membuktikan bahwa agama bisa menjadi kekuatan untuk mengatasi perpecahan dan menciptakan keadilan bagi semua.
Dalam konteks Pondok Pesantren Condong, kejadian ini memotivasi stakeholder pesantren untuk membuka sekolah di dalam pesantren sehingga para santri tidak perlu pergi ke luar pesantren jika ingin mengenyam pendidikan formal. Hal inilah yang melatarbelakangi berdirinya beberapa lembaga pendidikan formal setingkat SMP, SMA dan perguruan tinggi di lingkungan pesantren, sehingga para santri tidak hanya mengenyam pendidikan keislaman khas pesantren, tapi juga mata pelajaran umum sebagaimana ditemukan di sekolah-sekolah formal. []