Disarkan dari Taujihad Dr. Drs Kh. Mahmud Farid, M.Pd

“Ilmu bisa dicari di mana saja, tetapi ruh kepesantrenan hanya bisa diwarisi dari guru yang benar-benar menghayatinya.”
Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan Islam, tetapi juga wahana pembentukan karakter dan nilai-nilai moral yang telah diwariskan secara turun-temurun. Para dosen dan ustadz yang lahir dari tradisi pesantren bukan hanya bertugas sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendidik yang membimbing santri dengan keikhlasan dan keteladanan dalam adab. Peran ini melampaui sekadar transfer ilmu, mencakup pembentukan jiwa dan akhlak yang sesuai dengan ajaran Islam.
- Akademisi Pesantren = Pendidik, Bukan Sekadar Pengajar
“Ilmu bisa dicari di mana saja, tetapi ruh kepesantrenan hanya bisa diwarisi dari guru yang benar-benar menghayatinya.”
Di perguruan tinggi berbasis pesantren seperti Perguruan Tinggi Riyadlul Ulum, kita memiliki tanggung jawab besar dalam mendidik mahasantri, bukan sekadar mahasiswa biasa. Mereka adalah generasi penerus yang tidak hanya dituntut unggul dalam akademik, tetapi juga harus memiliki karakter, adab, dan ruh kepesantrenan yang melekat dalam setiap aspek kehidupan mereka.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Jacques Delors dalam laporan UNESCO “Learning: The Treasure Within,” pendidikan harus mencakup empat pilar utama, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Dalam konteks pesantren, pilar-pilar ini menjadi sangat relevan:
- Learning to know (belajar untuk mengetahui) tidak sekadar mencakup akuisisi ilmu, tetapi juga pemahaman mendalam yang membentuk pola pikir kritis dan reflektif.
- Learning to do (belajar untuk berbuat) menekankan pentingnya implementasi ilmu dalam kehidupan nyata, sebagaimana pesantren membekali santri dengan keterampilan yang aplikatif.
- Learning to live together (belajar untuk hidup bersama) tercermin dalam budaya ukhuwah Islamiyah yang kuat dalam lingkungan pesantren.
- Learning to be (belajar untuk menjadi) menegaskan pentingnya pembentukan karakter dan kepribadian seorang individu yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Mahasantri bukan hanya pencari gelar, tetapi pencari berkah dan keberkahan ilmu. Oleh karena itu, tugas kita bukan hanya mentransfer ilmu, tetapi menanamkan nilai, menuntun dengan keteladanan, dan menanamkan ruh keikhlasan dalam belajar serta mengabdi.
Sebagaimana pesantren telah mengajarkan kepada kita:
“Attariqatu ahammu minal maaddah, wal mudarris ahammu minattariqah, wa ruuhul mudarris ahammu min kulli syai’.”
“Metode lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode, dan ruh seorang guru lebih penting dari segalanya.”
Falsafah ini adalah panduan bagi kita dalam membimbing mahasantri, agar mereka tumbuh menjadi intelektual Muslim yang berilmu, berakhlak, dan siap berkontribusi untuk umat.

1. Metode Lebih Penting Daripada Materi (Attariqatu Ahammu Minal Maaddah)
Dalam dunia akademik, materi perkuliahan memang penting, tetapi tanpa metode yang baik, ilmu itu tidak akan sampai ke hati dan pikiran mahasantri.
Pesantren telah membuktikan bahwa metode yang tepat dan menghidupkan jauh lebih berpengaruh dibandingkan sekadar tumpukan teori yang diajarkan secara kaku. Mahasantri bukan hanya butuh pengetahuan, tetapi juga pemahaman yang membentuk pola pikir mereka.
Bagaimana kita bisa menerapkan ini?
- Pendekatan yang membangun kemandirian – Mahasantri harus dibiasakan berpikir, berdiskusi, dan menganalisis secara mandiri, bukan sekadar menghafal materi untuk ujian.
- Pembelajaran berbasis pengalaman – Ilmu akan lebih bermakna jika dipraktikkan dalam kehidupan nyata, misalnya melalui penelitian, kajian, serta pengabdian kepada masyarakat.
- Pendidikan karakter dalam metode pengajaran – Setiap metode yang digunakan harus mampu menanamkan kedisiplinan, tanggung jawab, dan nilai-nilai kepesantrenan dalam diri mahasantri.
Gontor, sebagai salah satu pondok modern, menerapkan pembelajaran berbasis totalitas—santri tidak hanya belajar di dalam kelas, tetapi dalam setiap aspek kehidupan mereka. Pesantren salaf dengan kitab klasiknya menguatkan kultul pesantren dalam bentuk pola pikir dan etika, dua entitas ini tergabung dalam keterpaduan system di Perguruan Tinggi pesantren kita.
Sebagai dosen dan tenaga kependidikan di perguruan tinggi berbasis pesantren, metode kita harus mampu membentuk kepribadian mahasantri, bukan sekadar mengisi pikiran mereka dengan teori.
2. Guru Lebih Penting Daripada Metode (Wal Mudarris Ahammu Minattariqah)
Sebagus apapun metode yang digunakan, tetap ada satu faktor yang lebih utama—yaitu sosok pendidik itu sendiri.
Di pesantren, figur seorang guru atau dosen lebih berpengaruh dibandingkan metode yang diterapkan. Mahasantri tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga belajar dari kepribadian dan keteladanan kita sebagai pendidik.
Sebagai dosen, kita harus bertanya pada diri sendiri:
- Apakah kita hanya sekadar menyampaikan teori, atau benar-benar membimbing mereka dengan ketulusan?
- Apakah kehadiran kita memberi inspirasi bagi mereka, atau sekadar memenuhi jam mengajar?
- Apakah kita sudah menjadi contoh yang baik dalam kedisiplinan, akhlak, dan semangat belajar?
Pendidikan sejati bukan hanya tentang mencetak orang yang pintar, tetapi juga mencetak orang yang benar.
Keteladanan seorang dosen dan tenaga kependidikan terlihat dalam banyak hal:
- Disiplin waktu dan profesionalisme – Jika kita menuntut kedisiplinan dari mahasantri, maka kita harus lebih dulu menunjukkan kedisiplinan.
- Kelembutan dalam membimbing – Mahasantri adalah pemuda yang sedang membentuk jati diri, mereka butuh bimbingan yang penuh hikmah, bukan sekadar perintah dan aturan kaku.
- Kehidupan yang sesuai dengan ilmu yang diajarkan – Jika kita mengajarkan keikhlasan dan kesederhanaan, maka kita harus mencerminkan hal itu dalam kehidupan kita.
Sebagaimana santri yang meniru kyainya di pesantren, mahasantri akan lebih banyak belajar dari bagaimana kita menjalani kehidupan, bukan hanya dari apa yang kita ajarkan di dalam kelas.
3. Ruh Guru Lebih Penting Dari Segalanya (Wa Ruuhul Mudarris Ahammu Min Kulli Syai’)
Hal paling utama dalam pendidikan pesantren adalah ruh seorang pendidik.
Kita bisa memiliki materi yang bagus, metode yang menarik, dan sistem yang modern, tetapi tanpa ruh yang ikhlas dan tulus dalam mendidik, semua itu tidak akan berdampak maksimal.
Apa yang dimaksud dengan ruh seorang pendidik?
- Keikhlasan dalam mengajar – Tidak hanya mengajar demi memenuhi kewajiban, tetapi benar-benar ingin membimbing mahasantri untuk ibadah agar mendapatkan keberkahan ilmu.
- Kesabaran dalam membimbing – Setiap mahasantri memiliki latar belakang dan pemahaman yang berbeda. Kesabaran adalah kunci agar mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.
- Komitmen terhadap nilai kepesantrenan – Kampus berbasis pesantren harus tetap mempertahankan nilai keikhlasan, ukhuwah, dan pengabdian, meskipun telah masuk dalam sistem perguruan tinggi modern.
Di pesantren, seorang dosen tidak hanya mendidik dengan lisan, tetapi juga dengan hati dan jiwa. Jika kita ingin mahasantri menjadi pemimpin yang memiliki visi besar, maka kita harus lebih dulu menunjukkan bahwa kita mengajar dengan ruh perjuangan, bukan sekadar profesi.
Sebagaimana pesan di pesantren:
“Hidup sekali, hiduplah yang berarti.”
Sebagai dosen dan tenaga kependidikan di Perguruan Tinggi Riyadlul Ulum, kita harus menyadari bahwa mahasantri yang kita didik hari ini adalah calon pemimpin umat di masa depan.
Maka, marilah kita mengajar dengan hati, membimbing dengan keikhlasan, dan menanamkan ruh kepesantrenan dalam jiwa mereka.
Karena ilmu yang diajarkan dengan ruh dan ketulusan akan terus hidup dalam jiwa mereka, bahkan hingga generasi berikutnya.
Semoga Allah meridhoi setiap langkah kita dalam dunia pendidikan. Aamiin.
“Pesantren tidak diukur dari luas bangunannya, tetapi sejauh mana nilai dan kultur kepesantrenan terjaga dalam setiap individu yang hidup di dalamnya.”
Kita semua yang berada di lingkungan Perguruan Tinggi Berbasis Pesantren mengemban tugas yang jauh lebih besar daripada sekadar mengajar, mengelola akademik, atau mengatur administrasi. Kita adalah penjaga nilai dan kultur pesantren, pilar utama yang memastikan bahwa pesantren ini tidak hanya tumbuh dalam jumlah mahasantri, tetapi juga tetap teguh dalam karakter dan ruh kepesantrenan.
Besarnya sebuah pesantren bukan diukur dari seberapa luas tanahnya, seberapa megah gedungnya, atau seberapa banyak mahasantri yang menuntut ilmu di dalamnya. Besarnya sebuah pesantren adalah sejauh mana civitas akademiknya mampu menjaga, merawat, dan menanamkan nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi pesantren itu sendiri.
Nilai-nilai itu hidup dalam kita semua, bukan hanya dalam kitab-kitab yang diajarkan di kelas atau dalam aturan yang tertulis di dinding-dinding asrama. Nilai-nilai itu harus mengakar dalam karakter kita, tercermin dalam cara kita berbicara, berperilaku, dan membimbing mahasantri dalam perjalanan akademik dan spiritual mereka.
1. Dosen dan Tendik Adalah Wajah Nilai Pesantren
Dalam dunia akademik pesantren, dosen dan tenaga kependidikan bukan hanya bagian dari sistem, tetapi juga cerminan dari nilai-nilai kepesantrenan itu sendiri.
Mahasantri tidak hanya belajar dari buku dan kuliah, tetapi mereka menyerap nilai dan adab dari cara kita berinteraksi, dari kesabaran kita dalam membimbing, dari keikhlasan kita dalam bekerja, dan dari komitmen kita dalam menjaga tradisi pesantren.
Sebagaimana pesan di Pondok Modern Gontor:
“Yang lebih penting dari sebuah sistem adalah orang-orang yang menjalankan sistem itu.”
Tidak ada gunanya memiliki kurikulum terbaik jika para pendidiknya tidak merefleksikan nilai-nilai itu dalam kesehariannya. Sebagai civitas akademik, kita harus bertanya kepada diri sendiri:
- Apakah kita sudah menjadi teladan dalam akhlak dan adab sebelum menuntut mahasantri untuk berakhlak baik?
- Apakah kita menjaga kedisiplinan sebelum meminta mereka untuk tertib?
- Apakah kita bekerja dengan keikhlasan sebelum mengajarkan mereka nilai pengabdian?
Seorang dosen atau tendik yang benar-benar menghayati nilai kepesantrenan bukan hanya mengajarkan kebaikan, tetapi menjadi kebaikan itu sendiri.
2. Kultur Pesantren Tidak Akan Bertahan Jika Tidak Dijaga
Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga sebuah peradaban dengan sistem nilai yang harus terus dijaga dan diwariskan.
Kultur kepesantrenan yang kita bangun hari ini adalah hasil dari perjuangan para kyai, guru, dan pendidik sebelum kita. Kultur ini tidak akan bertahan jika kita hanya menjadi bagian dari sistem tanpa jiwa, tanpa ruh, tanpa penghayatan yang mendalam terhadap warisan nilai yang kita emban.
Bagaimana cara kita menjaga kultur pesantren?
- Menjaga Keikhlasan dalam Mengajar dan Melayani
- Ilmu yang diajarkan dengan keikhlasan akan lebih bermanfaat dan membekas dalam hati mahasantri.
- Sebagaimana kyai di pesantren, mengajar adalah pengabdian, bukan sekadar pekerjaan.
- Menegakkan Disiplin dengan Keteladanan
- Tidak ada kultur pesantren tanpa kedisiplinan.
- Mahasantri akan mengikuti bukan sekadar peraturan tertulis, tetapi juga pola hidup yang mereka lihat dalam diri dosen dan tendik.
- Menghidupkan Kebersamaan dan Ukhuwah Islamiyah
- Kultur pesantren bertahan bukan hanya karena sistemnya, tetapi karena ruh kebersamaan di dalamnya.
- Jangan biarkan kampus berbasis pesantren kehilangan semangat gotong royong, persaudaraan, dan saling membantu.
Sebagaimana yang sering ditekankan dalam pendidikan pesantren:
“Yang membuat pesantren tetap hidup bukan hanya sistemnya, tetapi orang-orangnya.”
Jika kita sebagai pendidik dan pengelola akademik tidak lagi peduli pada nilai dan kultur pesantren, maka kita sedang menggali lubang untuk meruntuhkan apa yang selama ini dibangun dengan perjuangan dan doa para pendahulu.
3. Pesantren Akan Dikenang Bukan dari Prestasinya, tetapi dari Karakternya
Banyak perguruan tinggi berbasis pesantren yang telah menghasilkan lulusan dengan berbagai prestasi akademik. Tetapi ingatlah, pesantren tidak diukur hanya dari seberapa tinggi prestasi akademiknya, tetapi dari seberapa kuat karakter dan nilai yang dijaga oleh lulusannya.
Mahasantri kita akan terjun ke masyarakat, membawa nama pesantren ini. Apakah mereka akan dikenal sebagai orang-orang yang berilmu, beradab, dan amanah? Itu bergantung pada bagaimana kita mendidik mereka hari ini.
Tugas kita bukan hanya meluluskan mereka dengan gelar, tetapi memastikan bahwa setiap lulusan membawa nilai kepesantrenan dalam kehidupan mereka.
Sebagaimana nasihat para kyai:
“Keberhasilan seorang pendidik bukan diukur dari seberapa banyak yang ia ajar, tetapi dari seberapa banyak yang mengamalkan ilmunya.”
Maka, janganlah kita bangga jika hanya melahirkan sarjana, tetapi banggalah jika kita berhasil melahirkan pemimpin yang berilmu, berakhlak, dan siap menjadi penerus perjuangan Islam.
Mari Menjadi Penjaga Nilai dan Kultur Pesantren
Bapak dan Ibu Dosen serta Tenaga Kependidikan, tugas kita lebih dari sekadar mengajar dan bekerja. Kita adalah penjaga nilai, penerus tradisi, dan pelanjut perjuangan para ulama dan kyai yang telah meletakkan dasar pesantren ini.
Jika nilai dan kultur pesantren hilang, maka pesantren ini hanya akan menjadi sekadar nama tanpa ruh.
Maka, marilah kita terus menguatkan peran kita dalam:
✅ Menjadi teladan dalam adab dan akhlak.
✅ Menjaga semangat keikhlasan dalam mendidik.
✅ Menghidupkan ruh kepesantrenan dalam kehidupan akademik.
Semoga Allah meridhoi setiap langkah kita dalam menjaga nilai dan kultur pesantren ini. Aamiin.
- Mencetak Generasi Berakhlak: Pewaris Peradaban, Bukan yang Tergilas Oleh Zaman
“Sebuah peradaban tidak dibangun oleh kecerdasan semata, tetapi oleh akhlak dan nilai yang dijaga oleh para pewarisnya.”
Di tengah derasnya arus globalisasi dan perkembangan zaman, perguruan tinggi berbasis pesantren tidak boleh kehilangan jati dirinya. Kita bukan hanya sekadar lembaga akademik yang mencetak lulusan dengan nilai tinggi, tetapi lebih dari itu, kita adalah benteng terakhir yang menjaga generasi Muslim tetap memiliki akhlak, adab, dan ruh perjuangan Islam.
Zaman terus berubah. Teknologi semakin canggih, ilmu semakin berkembang, dan batas-batas peradaban semakin kabur. Jika kita tidak kuat dalam menjaga nilai dan prinsip, generasi kita bukan akan menjadi pewaris peradaban, tetapi justru akan tergilas olehnya.
1. Pewaris Peradaban Adalah Mereka yang Menjaga Nilai, Bukan Hanya Mengejar Inovasi
Kita bangga dengan kemajuan zaman, tetapi kita juga harus bertanya:
- Apakah generasi kita masih memiliki adab kepada ilmu dan gurunya?
- Apakah mereka masih menjaga nilai-nilai Islam dalam mengejar impian mereka?
- Apakah mereka hanya sibuk dengan pencapaian dunia tanpa memikirkan tanggung jawab mereka terhadap agama dan umat?
Sejarah membuktikan bahwa peradaban Islam tidak dibangun hanya oleh orang-orang cerdas, tetapi oleh mereka yang berakhlak tinggi. Lihatlah sosok Imam Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, dan Ibnu Sina—mereka bukan hanya ilmuwan besar, tetapi juga ulama yang menjaga nilai Islam dalam setiap ilmu yang mereka kembangkan.
Jangan sampai kita hanya mencetak generasi yang pandai berbicara di forum-forum akademik, tetapi kehilangan adab dalam berbicara dengan gurunya. Jangan sampai kita hanya melahirkan lulusan yang menguasai teknologi, tetapi kehilangan kompas moral dalam menggunakannya.
Maka, tugas kita hari ini adalah memastikan bahwa mahasantri yang kita didik tidak hanya cerdas, tetapi juga berpegang teguh pada nilai-nilai Islam, sehingga mereka dapat menjadi pemimpin peradaban, bukan sekadar penonton yang terbawa arus zaman.
2. Akhlak Adalah Fondasi Peradaban yang Tidak Boleh Ditinggalkan
Sebagaimana bangunan yang megah akan runtuh jika pondasinya rapuh, peradaban juga akan hancur jika kehilangan akhlaknya. Maka, perguruan tinggi berbasis pesantren harus tetap teguh menjaga nilai-nilai ini dalam setiap aspeknya.
Kita harus menanamkan dalam diri mahasantri bahwa:
- Ilmu tanpa akhlak hanya akan melahirkan kesombongan.
- Kemajuan tanpa adab hanya akan membawa kehancuran.
- Jabatan dan kekuasaan tanpa nilai Islam hanya akan menjadi jalan menuju kebinasaan.
Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Jika kita ingin mahasantri kita menjadi pemimpin di masa depan, maka akhlak harus menjadi prioritas utama dalam pendidikan mereka. Kita tidak ingin mereka menjadi generasi yang hanya berlomba dalam prestasi duniawi, tetapi lupa pada tanggung jawab mereka sebagai pewaris dakwah dan penjaga peradaban Islam.
3. Generasi Muslim Harus Memimpin, Bukan Menjadi Pengikut
Dunia hari ini penuh dengan tantangan:
- Ideologi sekularisme dan liberalisme merusak pemikiran generasi muda.
- Gaya hidup hedonisme menjauhkan mereka dari makna perjuangan dan pengabdian.
- Kejayaan Islam tidak lagi menjadi visi utama, tetapi hanya bagian dari sejarah yang diceritakan.
Kita tidak boleh membiarkan mahasantri kita tumbuh menjadi generasi yang tak memiliki arah, kehilangan identitas, dan hanya mengikuti arus zaman tanpa prinsip. Mereka harus disiapkan bukan hanya untuk bertahan, tetapi untuk memimpin dan membangun kembali peradaban Islam yang gemilang.
Sebagaimana dahulu Islam menjadi mercusuar ilmu dan peradaban dunia, hari ini kita harus kembali mencetak generasi yang berani berdiri di garda terdepan untuk membela agama, menyebarkan kebaikan, dan membawa Islam ke puncak kejayaannya.
Maka, mari kita teguhkan niat dalam mendidik mahasantri, agar mereka menjadi pewaris peradaban Islam yang sejati, bukan generasi yang hanyut dalam gelombang zaman tanpa arah.
Semoga Allah memberkahi setiap usaha kita dalam mencetak generasi berakhlak, yang siap memimpin umat, bukan yang tergilas oleh arus peradaban. Aamiin.