Disarikan dari Taujihat Kamisan Dr. Drs. H. Mahmud Farid, M.Pd.
Mukadimah: Menjadi Dosen/Ustadz yang Menghidupkan Jiwa Pesantren

“Anda bukan sekadar pengajar, tetapi pewaris perjuangan ulama. Anda bukan hanya pendidik, tetapi penjaga ruh kepesantrenan!”
Seorang dosen atau ustadz di perguruan tinggi pesantren bukanlah sekadar individu yang menyampaikan ilmu di dalam ruang kelas. Ia adalah pemegang amanah, penerus perjuangan ulama, serta pembentuk jiwa generasi mendatang. Peran ini lebih dari sekadar akademik; ia adalah tanggung jawab besar dalam menjaga ruh kepesantrenan agar tetap hidup, berkembang, dan terus menjadi cahaya bagi umat.
Allah ﷻ berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ayat ini menjadi pengingat bahwa ilmu bukan hanya sekadar alat untuk mencapai prestasi akademik, tetapi sebuah tanggung jawab yang harus dijalankan dengan penuh amanah dan keikhlasan. Sebagai dosen dan ustadz di lingkungan pesantren, kita tidak hanya bertanggung jawab atas kecerdasan intelektual mahasiswa, tetapi juga atas kemurnian hati, keluhuran akhlak, dan kedalaman spiritual mereka.
Mengapa Ruh Kepesantrenan Harus Tetap Hidup di Perguruan Tinggi Pesantren?
Pesantren sejak dahulu telah menjadi benteng peradaban Islam, tempat lahirnya ulama besar, dan pusat pendidikan yang mencetak pemimpin umat. Jika ruh kepesantrenan mulai melemah dalam institusi akademik yang berlabel pesantren, maka yang tersisa hanyalah nama tanpa makna, bangunan tanpa ruh, dan institusi tanpa visi Islam yang sejati.
Pesantren itu tetap ada karena menjaga nilai atau ruh perjuangannya, ada pondok pesantren yang telah berdiri lebih dari seratus tahun tidak punah itu karena selalu menjaga ruh kepesantrenan.
Imam Al-Ghazali رحمه الله berkata:
إِذَا صَلَحَ الْعَالِمُ صَلَحَ الْعَالَمُ
“Jika seorang alim itu baik, maka dunia ini pun akan baik.” (Ihya’ Ulumuddin, Juz 1)
Maka, yang menjadi tantangan utama bagi para dosen dan ustadz di perguruan tinggi pesantren adalah bagaimana menjaga keikhlasan dalam mengajar, bagaimana tidak tergoda dengan gelar akademik dan jabatan, serta bagaimana tetap menanamkan nilai-nilai pesantren dalam pendidikan tinggi.
Ruh kepesantrenan adalah jiwa yang menjadikan ilmu tidak hanya sebatas logika, tetapi juga hikmah. Ia bukan hanya sekadar kurikulum yang disusun, tetapi adab yang ditanamkan, bukan hanya metodologi pembelajaran, tetapi keteladanan yang diwariskan. Jika ruh ini hilang, perguruan tinggi pesantren tidak akan memiliki perbedaan dengan universitas sekuler yang hanya menitikberatkan pada pencapaian akademik tanpa ruh spiritual.
Dosen dan Ustadz: Bukan Hanya Penyampai Ilmu, Tetapi Pembentuk Jiwa
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ، حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا، وَحَتَّى الْحُوتَ، لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
“Sesungguhnya Allah, malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, bahkan semut dalam sarangnya dan ikan di lautan, semuanya mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi No. 2685, dinilai hasan shahih oleh Al-Albani)
Hadits ini menunjukkan betapa mulianya tugas seorang pendidik. Namun, kemuliaan ini bukan hanya karena banyaknya ilmu yang diajarkan, tetapi karena dampak yang ditimbulkan dari ilmu tersebut. Seorang dosen atau ustadz yang hanya fokus pada materi akademik, tetapi mengabaikan adab dan pembentukan karakter, hanya akan menghasilkan lulusan yang cerdas tetapi kehilangan arah, memiliki wawasan luas tetapi miskin hikmah.
Imam Malik رحمه الله berkata:
تَعَلَّمِ الأَدَبَ قَبْلَ أَنْ تَتَعَلَّمَ الْعِلْمَ
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.” (Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’, Juz 1)
Perkataan ini adalah peringatan bagi kita semua bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi pembentukan jiwa. Jika adab tidak diajarkan sejak awal, maka ilmu hanya akan menjadi kebanggaan intelektual tanpa manfaat hakiki.
Krisis Nilai di Dunia Akademik: Bagaimana Pesantren Tetap Menjadi Benteng Moralitas?
Dunia akademik hari ini menghadapi krisis besar dalam hal nilai dan moralitas. Ilmu tidak lagi dipandang sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, tetapi sebagai alat untuk meraih kedudukan dan kebanggaan duniawi. Banyak institusi pendidikan tinggi yang kehilangan arah, lebih sibuk mengejar akreditasi dan peringkat internasional daripada menanamkan nilai-nilai Islam yang hakiki.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim No. 2699)
Namun, jalan menuju surga ini bukan hanya karena ilmu yang dipelajari, tetapi bagaimana ilmu itu diamalkan dan diajarkan dengan benar.
Jika perguruan tinggi pesantren gagal menjaga nilai-nilai Islam dalam sistem pendidikannya, maka ia tidak akan lebih dari sekadar kampus biasa yang hanya melahirkan lulusan-lulusan dengan ijazah, tetapi tanpa cahaya iman. Oleh karena itu, ruh kepesantrenan harus terus dijaga, dihidupkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Jangan Biarkan Jiwa Pesantren Padam
Pesantren adalah warisan para ulama, tempat lahirnya pemimpin umat, dan benteng terakhir dalam menjaga nilai-nilai Islam dalam dunia pendidikan. Maka, kepada para dosen dan ustadz di perguruan tinggi pesantren, ingatlah:
✅ Anda bukan sekadar akademisi, tetapi penerus perjuangan ulama.
✅ Anda bukan hanya pendidik, tetapi penjaga nilai-nilai Islam.
✅ Anda bukan hanya pengajar, tetapi pembentuk peradaban.
Jangan biarkan ruh kepesantrenan padam di tangan kita. Ajarkan dengan keikhlasan, bimbing dengan adab, dan jadilah teladan bagi mahasiswa yang kelak akan meneruskan estafet perjuangan Islam. Wallahu a’lam bishawab